Friday, December 17, 2010

Sektor Lingkungan Belum Terlindungi

Semarang, kompas - Hingga akhir tahun 2010, kondisi lingkungan dan kawasan pesisir di Jawa Tengah tidak kunjung membaik. Berbagai bencana ekologis terjadi karena peraturan yang dibuat pemerintah daerah belum mampu melindungi sektor lingkungan.

 

Hal ini terangkum dalam catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam isu lingkungan dan pesisir tahun 2010 yang disusun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. ”Kebijakan pemerintah justru membuat lingkungan dan pesisir menjadi salah urus,” kata Staf Operasional Isu Lingkungan dan Pesisir LBH Semarang, Erwin Dwi Kristanto, Senin (13/12) di Semarang.

 

Berdasarkan data LBH Semarang, selama 2010 terjadi 35 bencana ekologis di Jawa Tengah. Sebanyak 15 bencana ekologis di antaranya terjadi di Kota Semarang. Kasus konflik area tangkap dan reklamasi juga paling banyak terjadi di Kota Semarang.

 

Bencana ekologis itu meliputi kerusakan lingkungan pesisir akibat abrasi, akresi, dan rob yang sebagian besar disebabkan ulah manusia. Misalnya, abrasi di wilayah Kabupaten Kendal, Demak, dan Kota Semarang yang dipicu reklamasi pantai.

 

Menurut Erwin, kerusakan pesisir biasanya disebabkan oleh kalangan korporasi yang membangun pabrik dengan cara mereklamasi pantai. Namun, saat ini muncul kecenderungan bahwa pemerintah membuat peraturan baru yang lebih memudahkan pihak korporasi itu menguasai lahan pesisir.

 

Kota Semarang merupakan salah satu daerah di Jateng yang saat ini sedang menyusun rancangan peraturan daerah (perda) tentang pesisir. Proses ini menjadi sorotan tajam beberapa pihak termasuk LBH Semarang, karena ada upaya memasukkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) ke dalam perda itu.

 

”Jika HP3 diterapkan, pihak swasta semakin berkuasa dan kerusakan makin parah,” kata Erwin. Dengan mendapat HP3, seseorang bebas mengelola kawasan pesisir dan perairan sepanjang 12 mil dari bibir pantai. Orang lain yang melanggar zona itu dapat dikenai sanksi pidana.

 

Contoh lain kegagalan pemerintah dalam melindungi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya adalah melalui program The Blue Revolution Policies. Program yang bertujuan memperkuat sektor perikanan itu tidak dapat diterapkan dengan baik di daerah. ”Di Jateng, 17 kabupaten/kota justru menerapkan retribusi terhadap nelayan kecil,” kata Erwin.

 

Ketua Panitia Khusus Rancangan Perda Pengelolaan Pesisir dan Perikanan DPRD Kota Semarang, Agung Budi Margono, mengatakan, proses penyusunan perda itu terhenti karena menunggu Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang. ”Tetapi, kami terima aspirasi masyarakat mengenai HP3 itu,” katanya.

 

Dalam monitoring LBH Semarang terhadap sektor lingkungan nonpesisir, Kota Semarang juga menduduki peringkat terburuk. Dari 14 kasus persoalan lingkungan yang disorot di Kota Semarang, 5 di antaranya merupakan kasus pencemaran lingkungan, dan 4 kasus di antaranya merupakan penerbitan izin bermasalah atau tanpa kajian lingkungan. (DEN)

 

 

Tuesday, December 14, 2010

Fadel: Laut Belum Jadi "Mainstream" Pembangunan Nasional

Jakarta (ANTARA) - Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengatakan, sektor kelautan dan perikanan masih belum menjadi "mainstream" (arus utama) dalam pembangunan nasional sehingga potensinya belum maksimal dimanfaatkan.

 

"Faktor utama yang menjadi kendala adalah laut belum menjadi `mainstream` dalam pembangunan nasional," kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

 

Karenanya, menurut Fadel, melalui momentum Hari Nusantara yang diperingati setiap 13 Desember, pemerintah dan rakyat harus menyadari bahwa Indonesia memiliki jati diri sebagai bangsa maritim dan negara kepulauan terbesar serta berbudaya bahari di dunia.

 

Oleh sebab itu pula, ujar dia, peringatan Hari Nusantara pada tahun 2010 ini mengambil tema "Hari Nusantara Membangkitkan Budaya Bahari".

 

Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengatakan, berbicara kenusantaraan tidak terlepas dari soal kewilayahan.

 

"Secara fisik wilayah negara Indonesia yang didasarkan pada UNCLOS 1982, wilayah laut mendominasi luas Indonesia, yaitu kurang lebih 75 persen," katanya.

 

Ia mengutarakan harapannya agar momentum peringatan Hari Nusantara kali ini dapat digunakan untuk lebih memahami akan kehidupan masyarakat pesisir dan di pulau-pulau terdepan wilayah perbatasan.

 

Di tempat terpisah Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) M Riza Damanik kepada ANTARA mengatakan, perayaan Hari Nusantara setiap 13 Desember patut dioptimalkan oleh negara untuk melindungi dan menjamin keselamatan setiap warga di Kepulauan Indonesia dari ancaman bencana iklim.

 

Riza juga mendesak agar pemerintah juga tidak melakukan kebijakan yang hanya menyiratkan adanya ekspansi perekonomian dari darat ke laut.

 

Sebagaimana diketahui, perayaan Hari Nusantara dibuat untuk memperingati Deklarasi Djuanda yang dibuat pada 1957.

 

Deklarasi Djuanda adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

 

Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yang mengatakan bahwa pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai.

 

Dengan demikian, sebelum adanya Deklarasi Djuanda, kapal asing bebas berlayar di kawasan perairan yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

 

__,_._,___

Tujuh Puluh Lima Persen Hutan Bakau di Sumut Rusak

 

Medan, Kompas - Kerusakan kawasan pesisir akibat perambahan dan konversi lahan menjadi perkebunan sawit membuat kawasan tutupan hutan bakau di Sumatera Utara tersisa 25 persen. Sebanyak 75 persen atau 62.800 hektar di antaranya sudah rusak.

Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara menunjukkan, kerusakan terbesar terjadi di Kabupaten Langkat. Dari 35.500 hektar hutan bakau di daerah itu, sebanyak 25.300 hektar atau 71,6 persen di antaranya rusak. Di Tanjung Balai-Asahan, dari 14.400 hektar hutan bakau, sebanyak 12.900 hektar atau 89,5 persen di antaranya rusak. Sementara di Deli Serdang-Asahan, 12.900 hektar atau 64,5 persen dari total 20.000 hektar hutan bakau rusak.

Kerusakan juga terjadi pada hutan bakau di Nias, Labuhan Batu, Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, dan Medan. Di Medan, dari 250 hektar hutan bakau, kerusakan terjadi pada 150 hektar. Sementara di Nias, kerusakan baru sekitar 6 persen atau 650 hektar dari 7.200 hektar yang dimiliki. Data didasarkan foto citra satelit yang dibuat Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut.

Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut Matius Bangun hari Rabu (27/1) mengatakan, hutan bakau ditangani tiga instansi. Dinas Kehutanan menangani areal kawasan hutan, Dinas Kelautan dan Perikanan di kawasan budidaya, serta Badan Lingkungan Hidup mengurusi bakau di zona kawasan industri. Namun, kerusakan terus bertambah.

Penyelamatan

Kerusakan terutama terjadi karena perambahan kawasan pesisir yang sudah terjadi puluhan tahun. Kini, kondisi kawasan hutan bakau sudah beralih fungsi menjadi banyak hal, seperti permukiman dan perkebunan, terutama lahan kelapa sawit.

Menurut Matias, ada 10.000 hektar lahan perikanan budidaya udang di Sumut yang tidak berfungsi lagi karena bisnis ini tak berkembang. "Semestinya lahan dialihfungsikan menjadi hutan bakau kembali. Namun, kini lahan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit," tuturnya.

Upaya penyelamatan sudah dilakukan sejumlah pihak, baik instansi pemerintah maupun swasta, tetapi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Badan Lingkungan Hidup menyatakan perlu waktu sedikitnya 10 tahun untuk memperbaiki hutan bakau yang ada di Sumut. (WSI)

 

http://regional.kompas.com/read/2010/01/30/02533281/75.Persen.Hutan.Bakau.di.Sumut.Rusak

 

Monday, December 13, 2010

Banyak Negara Ditekan Soal Iklim

 

KOMPAS: Kawat-kawat diplomatik menunjukkan bagaimana Amerika Serikat memanipulasi perjanjian soal iklim, memperlihatkan bagaimana AS menggunakan peran mata-mata, ancaman, dan janji-janji bantuan untuk meraih dukungan demi terciptanya kesepakatan Kopenhagen pada Desember 2009.

Tersembunyi di balik retorika penyelamatan dunia, terdapat realitas politik yang berlepotan dengan absurditas. Demikian bagian dari petikan berita-berita harian Inggris, The Guardian, selama beberapa hari pada awal Desember ini setelah menganalisis kawat-kawat diplomatik AS yang meluncur di situs WikiLeaks.

Dokumen tak resmi pun muncul dari pertemuan puncak soal iklim di Kopenhagen. Sejumlah negara miskin bersedia mengurangi emisi, dengan tawaran bantuan yang sebenarnya tidak akan pernah diterima.

Namun, dengan kesediaan ini, Uni Eropa dan Amerika Serikat merasa telah menolong pengurangan emisi karena membantu sejumlah negara mengurangi emisi lewat bantuan, dijuluki carbon trading.

Perundingan untuk pencapaian traktat ini merupakan permainan dengan taruhan tingkat tinggi. Ini adalah perekayasaan kembali perekonomian global dengan model karbon rendah, yang menyaksikan pembalikan arus uang miliaran dollar AS. Dengan mengurangi emisi, negara-negara berkembang meredam laju pembangunan ekonomi. AS dan UE terus bebas memuncratkan polusi demi pembangunan ekonomi, juga menjual "teknologi hijau".

Untuk meraih kekuatan negosiasi, yang berakhir dengan penandatanganan kesepakatan itu, Deplu AS mengirim kawat rahasia pada 31 Juli 2009, yang mengincar para diplomat berbagai negara yang bertugas di PBB, termasuk yang menangani perubahan iklim. Permintaan itu berasal dari CIA. Tujuannya, melihat posisi dan tawaran negara-negara menjelang pertemuan Kopenhagen. Para diplomat diminta mengincar rancangan traktat dan kesepakatan yang akan disetujui.

Pembicaraan AS-China gagal meraih kesepakatan global di Kopenhagen. China cukup lihai melihat permainan AS, yang dinilai hanya menekan dan tidak mau menekan emisi global. Namun, AS, polluter terbesar dunia dan paria iklim yang terisolasi, memiliki sesuatu untuk disepakati sejumlah negara. Persetujuan itu dipalu di jam-jam menentukan, tetapi tidak lewat proses PBB. Persetujuan itu dicapai karena pendiktean. Perjanjian ini tak menjamin pengurangan emisi yang dibutuhkan dunia untuk menghindari pemanasan, itu pun jika pemanasan itu benar-benar terjadi.

Kesepakatan itu juga bertujuan meredam PBB untuk memperpanjang protokol Kyoto, yang mewajibkan negara-negara kaya mengurangi polusi. Hal ini kemudian membuat banyak negara mendadak menentang kesepakatan yang sudah diteken.

Lepas dari itu, untuk merangkul sejumlah negara agar bersedia mengikat dirinya pada kesepakatan, demi melayani kepentingan AS, serangan-serangan diplomatik diluncurkan.

Kawat-kawat diplomatik mengalir keras dan cepat antara akhir pertemuan Kopenhagen dan Februari 2010. Sejumlah negara berhasil dibujuk untuk sebuah kesepakatan, yang menjanjikan bantuan 30 miliar dollar AS, khususnya bagi negara-negara miskin yang terpukul pemanasan global, yang bukan mereka buat.

Dua minggu setelah Kopenhagen, Menlu Maladewa Ahmed Shaheed menulis kepada Menlu AS Hillary Clinton. Dia mengekspresikan keinginan untuk mendukung kesepakatan.

Pada 23 Februari 2010, Dubes Maladewa yang yang dirancang untuk posisi AS Abdul Ghafoor Mohamed berkata kepada wakil utusan iklim AS, Jonathan Pershing, negaranya menginginkan "bantuan nyata". Ghafoor mengatakan, negara lain kemudian akan tergiur merealisasikan "manfaat bantuan yang diraih dengan mengikuti perjanjian" yang dilakukan Maladewa.

"Ghafoor merujuk beberapa proyek berbiaya 50 juta dollar AS. Pershing menyemangatinya untuk memberi contoh konkret dan biaya dengan tujuan meningkatkan bantuan bilateral."

 

Kreativitas akuntansi

Menurut kawat pada 11 Februari, Pershing bertemu dengan Ketua Komisi Aksi Iklim Uni Eropa Connie Hedegaard di Brussels, Belgia. Hedegaard mengatakan, "Negara-negara kecil bisa menjadi sekutu terbaik sehubungan dengan kebutuhan mereka akan bantuan."

Namun, pasangan ini berpikir soal cara pencarian bantuan 30 miliar dollar AS. Hedegaard mengajukan ide beracun. Apakah semua bantuan AS berbentuk tunai? Hedegaard bertanya apakah AS sekadar melakukan "kreativitas akuntansi".

Pershing mengatakan, "Para donor harus menyeimbangkan keperluan politik soal bantuan itu dengan kendala ketatnya anggaran negara."

Dari sini, negara berkembang melihat bahwa banyak dari janji bantuan untuk lingkungan itu merupakan pengalihan dari bantuan yang sudah pernah dijanjikan untuk urusan lain.

Pada bagian lain dari kawat itu, Hedegaard bertanya mengapa AS tidak sepakat dengan China dan India atas apa yang dia lihat sebagai tawaran yang bisa diterima untuk pengurangan emisi pada masa datang. China dan India sama-sama siap mengurangi emisi jika AS dan UE juga siap.

Berikut ini adalah isi kawat lain. Pada 2 Februari 2009, sebuah kawat dari Addis Ababa melaporkan pertemuan antara Wakil Menlu AS Maria Otero dan PM Etiopia Meles Zenawi, yang akan memimpin pertemuan perubahan iklim Uni Afrika.

Kawat rahasia itu memuat ancaman tegas AS terhadap Zenawi: "Tanda tangani perjanjian atau diskusi harus berakhir sekarang". Zenawi merespons bahwa Etiopia mendukung kesepakatan, tetapi jaminan personal Presiden Barack Obama soal bantuan tidak dipenuhi.

Determinasi AS untuk menemukan lawan beratnya—Brasil, Afrika Selatan, India, dan China—tertuang dalam kawat lain dari Brussels pada 17 Februari 2010. Kawat ini melaporkan pertemuan antara Wakil Penasihat Keamanan Nasional Michael Froman, Hedegaard, dan para pejabat UE lainnya.

Froman mengatakan, UE dan AS harus menyembunyikannya ketidakcocokan untuk mengatasi perlawanan negara-negara ketiga. Hedegaard menjamin Froman akan dukungan itu.

Hedegaard dan Froman juga mendiskusikan keperluan untuk "menetralisasi, mengooptasi, atau memarginalkan negara-negara yang tidak tertangani, termasuk Venezuela dan Bolivia". Kemudian, pada April 2010, AS menghentikan bantuan kepada Bolivia dan Ekuador karena menolak kesepakatan.

Setelah pertemuan Kopenhagen, pengikatan lebih jauh bantuan keuangan demi dukungan politik mencuat. Para pejabat Belanda juga menjadi sasaran. Belanda awalnya menolak tekanan AS, tetapi akhirnya membuat pernyataan pada 25 Januari.

Menurut kawat itu, perunding Belanda soal iklim, Sanne Kaasjager, "... menyusun pesan-pesan ke berbagai kedutaan di negara-negara penerima bantuan Pemerintah Belanda untuk mendukung kesepakatan. Ini sebuah langkah yang tak pernah dilakukan sebelumnya oleh Pemerintah Belanda, yang secara tradisional menolak pengaitan bantuan utang untuk kepentingan politik."

Sekarang 140 negara sudah di tangan, dan ini diungkapkan Pershing dalam pertemuannya dengan Hedegaard pada 11 Februari. Sebanyak 140 negara itu mewakili 75 persen dari 193 negara yang menjadi peserta konvensi PBB soal perubahan iklim. Negara-negara ini juga menegaskan, mereka bertanggung jawab atas 80 persen emisi global.

Pada pertemuan iklim di Cancun, Meksiko, muncul kejutan terbesar. Jepang mengumumkan tidak akan mendukung perpanjangan traktat Kyoto. Ini memberi dukungan besar kepada AS. Roda diplomatik AS dan deal-deal-nya tampaknya memberi hasil.

Di Cancun, Amy Godman dari New America bertanya pada Stern soal kawat-kawat itu. "Saya tidak punya komentar," kata Stern yang mengecam bocoran kawat itu. Hedegaard juga berkomentar, "Kawat-kawat itu cuma berisi sepenggal dari serangkaian pembicaraan." (MON)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/12/03194298/banyak.negara..ditekan.soal.iklim

Bangun PLTA, Perambah Harus Ditertibkan

Posmetrojambi.com, 13 Desember 2010

JAMBI - Organisasi lingkungan hidup KKI Warsi meminta pemerintah untuk menertibkan perambah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Permintaan ini disampaikan terkait dengan rencana pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Telun Berasap di Kabupaten Kerinci. “Kami sangat mendukung rencana pembangunan PLTA tersebut.

Dengan adanya PLTA akan menjawab pertanyaan yang  selama ini diungkapkan, apa sih manfaat yang diberikan TNKS?” kata Rudi Syaff, Manajer Komunikasi KKI Warsi.Namun, pembangunan PLTA tersebut akan sia-sia jika pemerintah membiarkan perambahan terus berlangsung. Perambahan akan mengakibatkan tutupan hutan di TNKS menjadi berkurang. “PLTA tersebut akan menggunakan air dari Danau Gunung Tujuh yang ada di dalam kawasan TNKS. Jika banyak perambahan, maka daerah resapan airnya akan berkurang. Jika  kawasan resapan berkurang, akan menyebabkan suply air ke Danau Gunung Tujuh juga akan berkurang. Akibat lebih jauh, jika air Danau Gunung Tujuh berkurang dan debit air terjun Telun Berasap akan berkurang. Maka, nasib PLTA Gunung Tujuh tak akan jauh beda dengan PLTA Koto Panjang yang saat ini tidak bisa dioperasikan karena ketiadaan sumber air,” jelas Rudi Syaff.

Rudi menambahkan, pemerintah harus bersikap tegas terhadap para perambah. Jika terus dibiarkan, bukannya tidak mungkin hutan TNKS akan habis berganti menjadi kebun kentang. Namun demikin, tambah Rudi, pemerintah juga harus memberikan solusi kepada para penggarap lahan TNKS. “Harus ada solusi buat mereka, jangan asal usir. Harus dipikirkan bagaimana penghidupan mereka setelah keluar dari kawasan TNKS,” tegas Rudi Syaff.

Menurut data Balai Besar TNKS, saat ini ada sekitar 6 ribu Kepala Keluarga (KK) yang merambah kawasan taman nasional. Mereka telah mengolah lahan di dalam kawasan TNKS seluas sekitar 25 ribu hektar. Sebelumnya, pemerintah telah mengultimatum para perambah agar meninggalkan lahan garapannya paling lambat 1 Desember lalu. Namun, setelah melewati tenggat waktu tersebut, mayoritas perambah memilih bertahan. Hanya sedikit perambah yang meninggalkan lokasi secara suka rela.

Pemerintah sendiri tidak melakukan pengusiran perambah yang bertahan. Menurut Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar TNKS, Persada Agussetia Sitepu, pihaknya tidak mungkin melakukan pengusiran perambah di Kerinci. “Berbeda dengan di Lembah Masurai yang mana perambahnya adalah para pendatang. Sementara di Kerinci perambahnya adalah warga setempat. Kami tidak mungkin melakukan tindakan tegas karena bisa menimbulkan kekisruhan,” kata Agussetia. (usm)

Sunday, December 5, 2010

Inilah 12 Perusahaan Pelaku Pencemar Lingkungan

JAKARTA-Sebanyak 33 atau 15 persen dari 215 perusahaan yang bergerak di sektor agroindustri memperoleh predikat hitam dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Dua belas di antaranya sudah berpredikat hitam 2 kali, yakni di tahun 2009 dan 2010.

Merujuk pada Laporan Hasil Penilaian Program Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup 2010 yang disiarkan KLH bahwa peringkat warna hitam didefinisikan sebagai usaha dan atau kegiatan yang sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.

“Apabila sanksi administratif tidak dilaksanakan, maka pemidanaan pelaku pencemaran lingkungan hidup sudah sepatutnya dilakukan oleh KLH. Apalagi 12 perusahaan tersebut memperoleh predikat hitam selama 2 kali. Hal ini jelas bertentangan dengan amanah UU PPLH yang tegas melarang terjadinya pencemaran
lingkungan” jelas Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Abdul Halim, dalam rilisnya yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (4/12/2010).

Ke-12 perusahaan tersebut bergerak di bidang pengolahan ikan dan agar-agar yang terdiri dari 7 perusahaan beroperasi di region Jawa, 4 perusahaan beroperasi di region Sumapapua, dan 1 perusahaan beroperasi di Bali Nusra.

Tiadanya itikad baik untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam UU PPLH, dapat diancam pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar. “Jelas ada unsur kesengajaan dari 12 pelaku pencemaran tersebut. Faktanya, dua kali mereka memperoleh predikat hitam,” ungkap Halim.

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 78 sudah menegaskan bahwa sanksi administratif, yang terdiri dari (1) teguran tertulis; (2) paksaan pemerintah; (3) pembekuan izin lingkungan; dan (4) pencabutan izin lingkungan; tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.

“Terlampau mubazir anggaran dihabiskan untuk penilaian kinerja perusahaan dalam
pengelolaan lingkungan hidup tiap tahunnya, jika penegakan hukum lingkungan sebagaimana dimandatkan UU PPLH tidak dilakukan. Untuk menghindari preseden buruk, sudah seharusnya ke-12 perusahaan ini dipidanakan. KLH harus bergegas, karena ada kecenderungan besar pemerintah daerah yang menjadi lokasi ke-12perusahaan beroperasi tidak menindaklanjuti penilaian tersebut,” terang Halim.
Daftar Perusahaan Berpredikat Hitam 2009-2010
1. PT Centram (agar-agar) - Jawa
2. CV Pasific Harvest (pengolahan ikan) - Jawa
3. PT Avila Prima Intra Makmur (pengolahan ikan) - Jawa
4. PT Bali Maya Permai (pengolahan ikan) - Bali Nusra
5. PT Bitung Mina Utama (pengolahan ikan)- Sumapapua
6. PT Blambangan Raya Foodpackers (ikan) - Jawa
7. PT Deho canning Company (ikan) - Sumapapua
8. PT Manadomina Citrataruna (ikan) - Sumapapua
9. PT Maya Muncar (pengolahan ikan) – Jawa
10. PT Rex Canning Indonesia (pengolahan ikan) - Jawa
11. PT Rex Canning Indonesia (pengolahan ikan) - Sumapapua
12. PT Sumber Yalasamudera (ikan) - Jawa

Wednesday, November 17, 2010

Artikel BAKTi NEWS

GLOBAL IPM 2010 DAN KITA: PATUTKAH SI MISKIN BERHARAP?

Hari ini (5 November 2010, waktu Indonesia), UNDP meluncurkan Laporan Pembangunan Manusia (LPM), termasuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mengalami reformasi. IPM adalah rangkuman perkembangan jangka panjang dari tiga dimensi dasar Pembangunan Manusia (PM). Selama ini, tiga indikator pengukurnya adalah angka harapan hidup, persentase melek aksara orang dewasa dikombinasikan dengan angka partisipasi (kotor) sekolah bagi anak dan GDP (Gross Domestic Product) per kapita dalam Dollar AS.

Tahun lalu, IPM Indonesia berada pada peringkat ke-111 dari 182 negara. Sebenarnya, dari tahun ke tahun nilai Indonesia selalu naik, tapi kenaikan itu belum cukup mendongkrak secara drastic posisi peringkat IPM Indonesia. Sejak 2004 angka IPM Indonesia tercatat sebesar 0,714, kemudian naik menjadi 0,723 (2005), 0,729 (2006) dan 0,734 (2007).

Posisi Indonesia masih berada di bawah beberapa negara ASEAN seperti Singapura (peringkat 23), Malaysia (66), Thailand (87) dan Filipina 105). Sementara posisi Vietnam (116) dan beberapa negara seperti Mianmar, Laos, Kamboja berada di bawah Indonesia. Dibanding negara-negara dengan kepadatan penduduk tertinggi, posisi Indonesia berada antara China (92) dan India (134). Bagaimana dengan tahun 2010?

Dalam perkembangannya, LPM yang ruh dasarnya adalah menempatkan manusia sebagai titik pusat diskusi pembangunan dan rencana aksi, dari sisi indikator pengukurannya terus menerus dikritisi dan disempurnakan. Mengikuti perkembangan dan kompleksitas pembangunan di banyak negara LPM Global tahun ini memperkenalkan IPM reformasi dengan indikator baru, yaitu lamanya kehidupan yang sehat, lalu pendidikan dalam expected years of schooling (lama harapan sekolah) dikombinasikan dengan means years of schooling (lama rata-rata sekolah) serta sebuah kehidupan layak yang diukur lewat Gross National Income (GNI), bukan sekedar GDP yang menafikan banyaknya produksi domestik yang sebagian keuntungannya mengalir ke luar negeri serta menutupi kesenjangan antar individu.

Thursday, November 11, 2010

Tangani Lingkungan dengan "Ecoregion"

Jakarta, Kompas - Kementerian Lingkungan Hidup mengubah paradigma dalam penanganan isu lingkungan. Yang semula diserahkan ke setiap daerah kabupaten atau kota, kini penanganannya diharapkan lebih terintegrasi dengan dibentuknya lima ecoregion untuk seluruh Indonesia, yaitu ecoregion Sumatera; Balinusa untuk Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat; Sumapapua untuk Sulawesi, Maluku, dan Papua; Jawa; serta Kalimantan.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan ecoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.

Untuk pertama kalinya perwakilan dari semua ecoregion, Rabu (10/11), berkumpul pada acara National Summit "Mewujudkan Sinergi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup" yang digelar di Jakarta.

Hadir sebagai pembicara, yaitu Koordinator Nasional Conservation and Spatial Planning World Wide Fund for Nature Indonesia Barano Sulistya Siswa, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, serta Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup Hermien Rosita. Dalam diskusi, antara lain, terungkap, dengan konsep ecoregion itu diharapkan sinergi, fungsi koordinasi, dan diseminasi informasi menjadi lancar. Tugas dari ecoregion, antara lain, menjadi fasilitator dan penghubung antarsektor dan antarwilayah.

Menahan kebijakan

"Ecoregion bertugas menjahit kebijakan antardaerah dan memasukkan pertimbangan lingkungan dalam kebijakan pembangunan serta melakukan pengawasan," tutur Hermien.

Ecoregion juga bertugas menetapkan kriteria-kriteria lingkungan hidup, mengembangkan sistem informasi, serta mengarusutamakan pembangunan dengan memperhitungkan aspek keberlanjutan produktivitas dan aspek penyelamatan lingkungan. "Saat ini kita tidak pernah tahu berapa cadangan sumber daya alam kita," ujar Hermien.

Dia mengingatkan, pemanfaatan sumber daya alam dan perubahan tata ruang yang sedang dibuat harus selalu mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan. "Apalagi sekarang sudah banyak terjadi bencana banjir, longsor, dan sebagainya," ujar Hermien.

Dengan adanya ecoregion yang mengemban tugas dari Kementerian Lingkungan Hidup, menurut dia, "Harus tidak ada lagi izin usaha yang diperoleh tanpa ada izin lingkungan."

Kesiapan melakukan

Memandang UU No 32/2009 yang memunculkan ecoregion, Sarwono berpendapat, peraturan itu terlalu bagus untuk bisa dilaksanakan semua orang.

"Kalau tidak mampu melaksanakan, UU itu akan terdiskreditkan," ujar Sarwono.

Menurut dia, karena Indonesia luas dan masif, akan sulit untuk mencapai semua target sekaligus. Dia menyarankan untuk pertama kali dipilih beberapa bagian saja, terutama yang strategis.

"Masalah gambut amat strategis karena merupakan persoalan eksklusif Indonesia. Masalah kehutanan banyak di berbagai negara, tetapi gambut hanya di Indonesia. Jika berhasil menangani masalah lingkungan melalui penanganan gambut, gengsi Indonesia akan naik sehingga dukungan dari luar negeri juga akan datang," ujarnya.

Heart of Borneo

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta menegaskan, sekarang pihaknya memfokuskan pada Heart of Borneo. Heart of Borneo adalah kawasan yang menjadi daerah tangkapan air untuk sejumlah sungai besar di Kalimantan yang berada di wilayah tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei.

Menurut Gusti, tahun depan Indonesia mendapat giliran untuk memimpin Heart of Borneo. "Kalimantan adalah megabiodiversitas jadi harus benar- benar kita jaga," tuturnya. Oktober lalu Gusti mengatakan, telah memaparkan rencana- rencana untuk Heart of Borneo dan berbagai sumber pendanaannya. Gusti menambahkan, semua gubernur di Sumatera juga sudah menandatangani kesepakatan untuk mengembalikan kondisi lingkungan Sumatera.

Sementara terkait persoalan inventarisasi, yang merupakan dasar untuk membuat perencanaan, Gusti yakin akan bisa menyelesaikan pada 2011. Sementara menurut Hermien, data yang ada sekarang memang terdapat di berbagai pihak, seperti Kementerian Kehutanan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tetapi setidaknya inventarisasi tidak berangkat dari titik nol.

Sumber: Kompas, 11 November 2010, Halaman 13

Saturday, November 6, 2010

Merapi Peras Air Mata

Seorang pengungsi meneteskan air mata saat berhasil mencapai posko pengungsian di Stadion Maguwoharjo, Sleman, DI Yogyakarta, pascaerupsi Gunung Merapi, Jumat (5/11) dini hari.

---

Yogyakarta, Kompas - Letusan eksplosif Gunung Merapi sepanjang Kamis (4/11) pukul 23.00 hingga Jumat petang memeras air mata penduduk DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Peristiwa itu sangat mencekam, mengacaukan, dan membawa korban tewas 64 orang, puluhan sapi mati, serta belasan rumah terbakar akibat awan panas atau runtuh akibat banjir lumpur.

Hingga pukul 23.00 semalam, tercatat jumlah korban meninggal dunia 64 orang, semuanya penduduk Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, dan luka-luka 77 orang. Sejumlah sapi mati terbakar serta sejumlah rumah terbakar dan rusak.

Semalam, pengungsi mencapai 150.255 orang, terdiri dari pengungsi di DIY 34.000 orang serta pengungsi di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten (semuanya di Jawa Tengah) 116.255 orang.

Sejak letusan pertama, 26 Oktober 2010, Merapi telah menyemburkan material vulkanik sekitar 100 juta meter kubik (m). Separuh di antaranya diperkirakan menyembur Jumat dini hari hingga petang, ditandai dengan luncuran awan panas.

"Letusan ini lebih besar dari letusan Gunung Galunggung tahun 1982. Waktu itu Galunggung mencicil erupsi selama 10 bulan. Merapi hanya dalam dua minggu," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Sukhyar, Jumat. Sekitar 100 juta m material vulkanik itu menyebar ke sektor selatan, barat daya, tenggara, barat, dan utara yang di antaranya meliputi Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, serta Kabupaten Klaten, Boyolali, dan Magelang di Jawa Tengah.

Berdasarkan observasi lapangan sementara petugas Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) pada Jumat pagi, jarak luncur awan panas terjauh akibat letusan Merapi, sepanjang Kamis-Jumat, tercatat sejauh 14 kilometer di Dusun Bronggang, Cangkringan, Sleman, DIY.

Akibat letusan itu, tiga alat pencatat gempa BPPTK di Stasiun Klatakan, Pusonglondon, dan Deles, rusak terkena awan panas. Saat ini seismograf yang masih berfungsi tinggal satu unit di Stasiun Plawangan. "Hari ini (kemarin) kami mencoba memasang satu seismometer di sisi Jrakah (Magelang)," kata Kepala BPPTK Subandriyo.

Salah satu peringatan akan ancaman terbesar yang serius adalah aliran lahar dingin, yang bisa mencapai Kali Code, Kali Gajahwong, dan Kali Winongo di DIY. Ancaman menjadi kian serius apabila hujan terus mengguyur di kawasan lereng Merapi.

Sepanjang Rabu hingga Jumat pagi, aktivitas Merapi meningkat dahsyat. Gelombang awan panas tak putus-putusnya keluar dari puncak beserta material letusan lava dan abu yang diiringi gemuruh.

Puncaknya terjadi pada Jumat pukul 00.30. Suara gelegar besar terdengar hingga radius 30 km dan hujan pasir hingga radius 15 km. Hujan abu vulkanik juga terjadi hingga Kota Yogyakarta, yang berjarak lebih dari 30 km di selatan Merapi. Bahkan, dilaporkan hingga Kabupaten Tegal dan Brebes, Jawa Tengah.

Di Magelang, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kesulitan membersihkan jalur evakuasi yang tertutup pohon-pohon tumbang. Hal itu dikhawatirkan berisiko apabila letusan Merapi datang lagi.

Lima langkah Presiden

Merespons kondisi Gunung Merapi yang kian mengancam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden kemarin menetapkan lima langkah ekstra penanggulangan bencana.

Langkah pertama adalah penetapan kendali operasi tanggap darurat di tangan Kepala BNPB Syamsul Maarif. Kepala BNPB akan dibantu oleh Gubernur DIY, Gubernur Jawa Tengah, Panglima Kodam IV Diponegoro, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, dan Kepala Kepolisian Daerah DIY.

Langkah kedua, mendorong unsur pemerintah pusat berada di garis depan. Presiden menugaskan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono memastikan bantuan bagi masyarakat bisa diberikan dengan cepat, tepat, dan terkoordinasi.

Ketiga, Presiden memerintahkan TNI mengerahkan satu brigade penanggulangan bencana.

Keempat, Presiden memerintahkan Polri mengerahkan satuan tugas kepolisian untuk penanggulangan bencana karena pergerakan lalu lintas masyarakat di tengah bencana berpotensi menimbulkan kekacauan. Kelima, Presiden menegaskan, pemerintah akan membeli sapi-sapi ternak milik penduduk kawasan Gunung Merapi dengan harga yang pantas.

Secara mendadak, pada Jumat sore Presiden memutuskan berangkat lagi ke Yogyakarta untuk memastikan semua pihak menjalankan tugasnya.

Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding menegaskan, pemerintah harus tegas memaksa warga di sekitar lereng Gunung Merapi untuk mengungsi ke tempat aman. Agar warga tidak cemas, pemerintah harus menjamin penggantian ternak warga yang mati serta memindahkan ternak yang masih hidup. "Petugas harus tegas melarang pengungsi yang kembali ke rumahnya. Warga harus dipaksa mengungsi," katanya.

Gelombang pengungsi

Jumat dini hari, gelombang pengungsi datang dari utara. Di Jalan Kaliurang, ribuan sepeda motor dan mobil dipacu kencang ke arah Kota Yogyakarta di tengah hujan abu vulkanik, pasir, dan kerikil. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menaikkan radius aman primer Merapi dari 15 km menjadi 20 km.

Eksodus pengungsi pun terjadi, yang di antaranya terkonsentrasi di Stadion Maguwoharjo, Sleman, yang menampung hingga 30.000 jiwa. Di Masjid Agung Sleman di kompleks Pemerintah Kabupaten Sleman, ribuan pengungsi berdatangan dengan kondisi memprihatinkan mulai pukul 01.30. Tubuh mereka berlumuran abu vulkanik.

Puluhan pengungsi terlihat di Masjid Agung Kauman di kompleks Keraton Ngayogyakarta.

RS Sardjito, Yogyakarta, hingga pukul 21.15 tercatat menerima 64 jenazah dan 66 korban luka bakar parah. Sejak subuh ambulans bergiliran datang membawa korban tewas ataupun luka bakar. Di Klaten, 80 warga dirawat di RSU Soeradji Tirtonegoro.

"Tidak ada korban meninggal, tapi ada salah satu pengungsi yang hamil tua kehilangan calon bayinya karena shock dampak psikologis," ujar Kepala Instalasi Gawat Darurat RSU Soeradji Tirtonegoro, Klaten, dr Hartolo.

"Meski Jumat siang erupsi sudah relatif mereda dibandingkan dua hari sebelumnya, bukan berarti berhenti. Letusan besar lagi kemungkinan masih ada," kata Kepala BPPTK Subandriyo.

Mengantisipasi membeludaknya jumlah pengungsi, Pemerintah Provinsi Yogyakarta menyiapkan gedung-gedung sekolah apabila diperlukan. Sejauh ini jumlah pengungsi terbesar ada di Stadion Maguwoharjo, Sleman.

Sejak kemarin pagi Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, ditutup total. General Manager Bandara Adisutjipto Agus Adriyanto menuturkan, penutupan itu semula ditetapkan berlaku mulai pukul 06.00 hingga 09.00. Penutupan bandara diperpanjang hingga satu hari penuh. Akibat penutupan tersebut, sekitar 90 jadwal penerbangan dari dan menuju Yogyakarta dibatalkan. Sekitar 8.000 calon penumpang pesawat dari dan menuju Yogyakarta juga batal terbang.

Kampus-kampus di DIY kemarin membuka pintu untuk para pengungsi Merapi. Selain kampus, para pengungsi juga memadati stadion olahraga

Sumber: Kompas, 6 November 2010, Halaman, 1

Wednesday, November 3, 2010

SUKU MENTAWAI : Kami Tak Mengenal Tsunami

Sebuah helikopter mendarat di Desa Eruparabuan, Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, untuk mengirimkan bantuan logistik, Senin (1/11). Tsunami yang menerjang daerah itu tidak dikenal suku Mentawai karena tradisi mereka sebenarnya adalah tradisi meramu di pedalaman.

Ketua DPR Marzuki Alie jelas sangat tidak tahu bagaimana sebenarnya masyarakat Mentawai. Jika Marzuki sampai mengatakan konsekuensi tinggal di pulau seperti Mentawai adalah terkena tsunami, dia tentu tidak tahu bahwa sebenarnya masyarakat di sana tidak mengenal tsunami.

”Masyarakat Mentawai itu aslinya yang peramu. Tinggal di hutan, di hulu sungai, jauh dari pesisir. Kultur masyarakat Mentawai bukan kultur pesisir atau lautan,” ujar aktivis Yayasan Citra Mandiri, Yosep Sarogdok.

Yayasan Citra Mandiri adalah lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan kegiatannya pada persoalan di Kepulauan Mentawai.

Yosep yang merupakan penduduk asli dari Pulau Siberut menuturkan, tradisi sebagai peramu masih belum berubah banyak hingga sekarang.

Domestifikasi ternak hingga tanaman baru dikenal masyarakat Mentawai awal tahun 1970-an. Sebelum masa itu, mereka adalah masyarakat yang hidup dari berburu dan meramu.

Pedalaman

Antropolog dari Yayasan Citra Mandiri, Tarida Hernawati, penulis buku tentang rumah adat tradisional masyarakat Mentawai, uma, menulis, penduduk asli Mentawai tinggal di pedalaman dan pinggir sungai.

Mereka sangat bergantung pada sumber daya alam dari hutan. Bukan dari lautan! Jadi, salah jika menyebut masyarakat Mentawai memiliki kultur pesisir atau lautan.

”Kalau ada nelayan di Mentawai, hampir pasti pendatang, kalau enggak orang Minang, orang Batak, atau orang Nias. Penduduk asli Mentawai selalu tinggal di hulu sehingga kami tak mengenal tsunami,” kata Yosep.

Namun, masyarakat Mentawai mengenal apa yang disebut sigegeugeu alias gempa bumi. Bahkan, saking seringnya gempa bumi terjadi di Mentawai, penduduk asli pun tahu bagaimana menyikapi fenomena alam tersebut.

”Orang tua kami dulu selalu mengajarkan, jika ada sigegeugeu, berlindunglah di bawah pohon pisang. Jelas ini agar kami tak terkena batang kayu hutan yang besar,” kata Yosep.

Selain itu, sigegeugeu justru dianggap berkah oleh penduduk asli Mentawai.

”Jika sigegeugeu datang pada pagi hari seperti waktu gempa kemarin, itu bertanda datangnya musim durian. Kami menyebut sigegeugeu yang terjadi di pagi hari sebagai sipananduk. Cek saja sekarang di Mentawai, pasti lagi banyak-banyaknya durian. Kalau gempanya siang atau sore, biasanya itulah waktu kami mencari induat atau sejenis jamur,” katanya.

Lalu, bagaimana dengan tsunami yang terjadi setelah gempa?

”Karena tinggal di hulu sungai, penduduk Mentawai hanya kenal yang namanya oju atau pasang sungai. Kadang kami heran pasangnya sungai bisa sampai ke hulu. Berarti ini limpahan dari muara. Kalau sudah begitu, kami biasa memindahkan permukiman lebih ke hulu lagi,” kata Yosep. (KHAERUDIN)

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/02/03543685/kami.tak.mengenal.tsunami

 

Tuesday, November 2, 2010

Reorientasi ASEAN

Senin, 1 November 2010 |Editorial

 

Pertemuan ke-17 ASEAN di Hanoi, Vietnam, telah berakhir. Salah satu semangat yang berkembang dan menjadi hasil pertemuan itu adalah integrasi regional dan pembangunan komunitas ASEAN.

Dalam semangat itu telah disepakati Master Plan on ASEAN Connectivity, yang akan menjadi payung kerjasama untuk menghubungkan ASEAN melalui pengembangan infrastruktur (physical connectivity), kelembagaan yang efektif (institutional), serta pemberdayaan masyarakat (people-to-people).

Dengan rencana-rencana itu, ASEAN dan rekan-rekan negara mitra (Tiongkok, Jepang dan Amerika Serikat) menyatakan tekad untuk meningkatkan kerjasama dalam perdagangan, investasi dan bidang-bidang ekonomi lain untuk terus bergerak ke depan dengan landasan yang semakin kuat.

Tidak ada yang salah dengan integrasi regional dan pembangunan komunitas ASEAN, sepanjang itu ditujukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat di kawasan ini dan dilakukan dengan prinsip; kersajama dan solidaritas.

Jika kita melihat kembali sejarah pembentukannya, maka ASEAN diciptakan sebagai tanggul Amerika Serikat dan barat untuk membendung pengaruh apa yang disebut "bahaya merah"—komunisme. Dengan menjadikan negara-negara ASEAN sebagai mitra strategisnya, AS berupaya mengisolir negara-negara yang dianggap berada di bawah pengaruh merah, terutama sekali: Vietnam.

Pada tahun 1990-an, seiring dengan keruntuhan blok sosialis di Eropa timur dan Sovyet, ASEAN mulai bersikap fleksibel. Pada tahun 1995, Vietnam resmi menjadi anggota ASEAN, lalu disusul oleh Laos, Myanmar (Burma), dan Kamboja.

Namun, kendati banyak pengamat yang menyebut bahwa ASEAN telah berubah haluan, dari anti-komunis menjadi fleksible (regionalism), tetapi kenyataan tidak dapat membantah bahwa ASEAN masih lebih banyak memikul kepentingan ekonomi, politik, dan militer dari imperialisme AS.

Apa kepentingan AS terhadap Asia Tenggara? Menurut kami, AS terus berusaha menjaga kekuatan hegemoniknya di kawasan ini untuk beberapa tujuan; pertama, menjadikan ASEAN sebagai front kedua untuk mengisolasi Tiongkok dan Korea Utara, dua negara yang relatif mandiri dari kekuatan imperialisme global.

Untuk alasan ini, ada benarnya melihat perkataan Bung Karno di pidato pembelaan "Indonesia Menggugat", yang mengatakan; "Siapa kuasa di Tiongkok, dialah akan kuasa pula di seluruh daerah pasifik. Siapa yang menggenggam rumah tangga di Tiongkok, dialah yang akan menggenggam pula segala urusan rumah tangga seluruh dunia timur, baik tentang ekonomi maupun militer."

Untuk tujuan ini, AS masih memelihara hubungan baik dengan beberapa negara mitra lokalnya, seperti Philipina, Thailand, Singapura, Indonesia, dan Malaysia. Sementara di kawasan Asia Timur, AS sangat bersahabat dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang.

Kedua, peran hegemonik AS di Asia tenggara untuk memastikan atau mengamankan kontrolnya terhadap jalur-jalur perdagangan (selat malaka, sunda, Lombok, Makassar, dan laut Cina selatan—jalur perdagangan sangat penting di dunia)

Ketiga, menjaga kepentingan  perdagangan dan investasi, mengingat bahwa kawasan ini memiliki; sumbe daya alam yang melimpah, tenaga kerja, dan potensi pasar yang besar.

Itu pula yang membuat AS tidak bisa meninggalkan kawasan ini, bahkan berencana memperluas pangkalan militernya di kawasan ini. Sekaligus, bahwa sebagian besar negara di kawasan ini sangat tunduk dalam menjalankan agenda dari negeri paman sam, yaitu Washington consensus.

Meskipun kehadiran Tiongkok makin besar di kawasan ini, terutama melalui CAFTA/China-ASEAN Free Trade Agreement, namun hal itu belum mematahkan hegemoni AS di kawasan ini. Kerjasama ini masih dalam kerangka neoliberal.

Inilah yang membuat kami agak ragu dengan rencana "komunitas ASEAN" ini. Sebab, tanpa perubahan orientasi yang sangat pro-imperialisme itu, komunitas ASEAN hanya akan menjadi sarana "perdagangan bebas" yang saling membunuh ekonomi masing-masing.

ASEAN harus merubah haluan, yakni dari pro-imperialisme menjadi anti-imperialisme, jikalau mau membina kerjasama yang sehat dan damai di kawasan ini. Prinsip kerjasama ala "Washington consensus", yang mengutamakan kompetisi ketimbang kerjasama saling menguntungkan, mestinya dibuang jauh-jauh. Sudah saatnya kerjasama regional di bangun di atas prinsip kemanusiaan, solidaritas, kesetaraan, dan penghargaan atas kedaulatan nasional masing-masing.

http://berdikarionline.com/editorial/20101101/reorientasi-asean.html

Friday, October 29, 2010

Wood or climate change forestry

JAKARTA POST - Much is said about how forestry will be an important part of Indonesia's emission reduction plan.  Many in the conservation community believe that the best way to reduce net emissions is to reduce the area of forest harvested for wood products or land cleared for conversion to agriculture or other land uses.  

On the surface, this sounds like a great idea, but what about the demand? How can we conserve while at the same time meeting the demand for wood and wood products?

Indonesia produces about 35 million cubic meters of legal round wood every year, but consumes substantially more than that — perhaps as much as 50 million cubic meters per year. This leaves a large gap between legal wood supply and demand for wood and wood products — a gap that is equivalent to over 170,000 hectares of selective forest harvest every year. As human population grows and per capita incomes increase, demand for wood and wood products will most likely continue to grow.

Now enters the idea of avoided deforestation and degradation — which means cutting fewer trees at a time when demand for wood is already higher than the legally sanctioned supply. Whether through a moratorium on new concessions or reductions in land cleared for agriculture or estate crops, the plans for reducing net emissions through avoided deforestation will result in decreasing the legal wood supply.  
It seems clear that taking forest land out of production means lower legal wood supply. This was demonstrated through experience of over the last decade when the selective logging concession area was reduced at the same time demand continued to grow.  

The result was a gap of some 40 million cubic meters of legal timber and a matching an increase in illegal logging. It is wonderful to hope that forest law enforcement can be improved to reduce illegal logging, yet the practical realities of controlling illegal logging are stark – it is very difficult to control illegal logging when there is not enough legal timber in the marketplace.

This is even more important as people's use of wood and paper products continues to grow as population and incomes both increase. The ultimate driver of forest loss and conversion of forest land to other land uses is a hunger for forest products and land for agriculture. These drivers are unlikely to change in the short-term.

Sustainable forest plantations on degraded lands can provide rural livelihoods, help meet future wood requirements and provide direct and indirect climate change benefits. Increasing the wood supply from such plantations is a key part of the legal wood supply picture — but these plantations need to come on line before other reductions are made in production from natural forest. Otherwise illegal harvest will increase as the legal harvests decrease.

So does a reduction in legal wood supply result in lower emissions from forest land use?  Probably not. Illegal supplies will replace legal supplies and similar quantities of wood will be used.  

It is clear that trying to reduce net emissions from natural forests will only be effective at the national level if wood supply needs are met first. Until then, a reduction in legal supplies will not result in significant net emission reductions — it will only provide market incentives for an increase in illegal logging.


The writer is International Finance Corporation (IFC) program manager for Sustainable Forestry Program in Indonesia.

-The Jakarta Post, October 29, 2010, page 7-

Thursday, October 28, 2010

Sistem Peringatan Dini Tsunami Tidak Memadai

Jakarta, Kompas - Sistem peringatan dini bencana tsunami di Indonesia masih lemah, terutama dalam proses penyebarluasan peringatan dini kepada masyarakat. Penyebarluasan peringatan dini melalui televisi tidak menjangkau pulau terpencil dan kecil. Keterampilan masyarakat mengantisipasi bencana menentukan dalam upaya penurunan risiko timbulnya korban dalam bencana tsunami.

Manajer Desk Bencana Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Irhash Ahmady menyatakan, kekeliruan informasi potensi tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai pada Senin (25/10) menunjukkan keterbatasan sistem peringatan dini berbasis teknologi. Irhash juga menyatakan, sulit memastikan peringatan dini melalui televisi, misalnya, dapat diketahui masyarakat yang tinggal di pulau terpencil yang berpotensi tsunami.

"Keterbatasan itu bisa diatasi jika masyarakat di daerah rawan bencana memiliki keterampilan mengantisipasi tsunami. Keterampilan itu sebenarnya ada dalam kearifan lokal di setiap wilayah. Dahulu masyarakat pesisir tahu, jika pantai surut mendadak orang harus lari ke bukit. Kini pengetahuan lokal itu telah terkikis. Sementara sistem peringatan dini modern masih sulit mencegah timbulnya korban," kata Irhash.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Moch Riyadi menjelaskan, pemerintah daerah menjadi penentu dalam menyebarluaskan peringatan dini potensi tsunami kepada masyarakat luas. Dalam kasus tsunami Kabupaten Kepulauan Mentawai, Senin lalu, peringatan dini potensi tsunami dikeluarkan BMKG empat menit setelah gempa.

"Informasi itu kami sebarkan melalui berbagai moda komunikasi, seperti layanan pesan singkat melalui telepon seluler, faksimile, server, juga kepada pemerintah daerah melalui digital video broadcast. Namun, kami tidak tahu apakah peringatan dini itu sampai kepada masyarakat di bawah," kata Riyadi.

Kuncinya kearifan lokal

Pakar tsunami yang juga Direktur Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Subandono Diposaptono pun menegaskan, antisipasi tsunami tidak bisa ditumpukan hanya kepada sistem peringatan dini berbasis teknologi. "Di Mentawai, tsunami biasanya sampai ke pantai lima menit setelah gempa. Peringatan dini menjadi tidak relevan lagi. Kuncinya memang pada kearifan lokal, seperti kearifan smong di Pulau Simeulue, Aceh. Intinya, kalau ada gempa keras langsung ke bukit, tidak perlu lihat pantai surut atau tidak atau tunggu peringatan dini," kata Subandono.

Subandono menyatakan, dari 22 buoy tsunami yang direncanakan, baru tiga buoy yang telah terpasang dan kini ketiganya tidak berfungsi karena dirusak atau dicuri. Irhash menyatakan, pencurian komponen buoy oleh nelayan menunjukkan nelayan tidak memahami apa fungsi buoy. "Itu terjadi karena nelayan tidak merasa terlibat dalam sistem peringatan dini tsunami dan manfaatnya bagi mereka," kata Irhash.

Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Arief Yuwono menyatakan, ilmu pengetahuan dan pengetahuan lokal harus dipadukan menjadi keterampilan antisipasi tsunami. "Kearifan lokal itu harus digali lagi," kata Arief.

-Sumber: Kompas, 28 Oktober 2010, Halaman 12-

Tuesday, October 26, 2010

Diingatkan, Pengelolaan Hutan Mesti Libatkan Komunitas

Jakarta, Kompas - Wakil Presiden Boediono menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah daerah dan komunitas lokal di sekitar hutan dalam proyek kerja sama pengelolaan hutan. Sementara itu, tahap institusionalisasi dari kerja sama Indonesia-Norwegia dalam kerangka REDD-Plus ditargetkan selesai akhir tahun ini.

Juru Bicara Wakil Presiden Yopie Hidayat mengemukakan hal itu seusai pertemuan Wapres Boediono dengan Menteri Lingkungan Hidup Norwegia Erik Solheim di Istana Wapres, Jakarta, Senin (25/10).

Norwegia-Indonesia telah menandatangani letter of intent untuk mengurangi emisi karbon dari hutan Indonesia. Untuk itu Indonesia merencanakan menerapkan moratorium penebangan hutan. Sementara Norwegia menjanjikan memberikan hibah 1 miliar dollar AS jika target tercapai.

"Sekarang sampai tahap institusionalisasi. Dalam kerja sama ini perlu diatur secara teknis bagaimana mekanisme penyaluran dana, institusi mana yang mengajukan, dan apa kriteria-kriterianya," ujar Yopie.

Menurut dia, Wapres menekankan pentingnya tahapan institusionalisasi karena Indonesia ingin proyek pengelolaan hutan itu nanti dijalankan secara komprehensif. "Misalnya ada satu area yang dikerjasamakan, tentu saja pelibatan gubernur dan bupati krusial karena modelnya melibatkan pemerintahan lokal, kalau perlu ke level komunitas yang tinggal di sekitar hutan, untuk sama-sama menjaga hutan," ujarnya.

Yopie menjelaskan, tahap institusionalisasi ditargetkan selesai sebelum akhir tahun. Pemerintah Indonesia dan Norwegia berencana mengumumkan secara konkret pola kerja sama kedua negara ini pada Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Cancun, Meksiko, 29 November-10 Desember 2010.

Indonesia berharap model kerja sama itu bisa diperluas, tak hanya melibatkan Norwegia. Menurut Yopie, Amerika Serikat menyampaikan ketertarikannya mengikuti model kerja sama Indonesia-Norwegia. Dalam kerja sama ini, jika hasil moratorium tak bisa diukur, tak bisa dilaporkan, dan tak bisa diverifikasi, hibah tak bisa dikucurkan.

-Sumber: Kompas, 26 Oktober 2010-

Monday, October 25, 2010

Final Statement of 6th ASEAN People's Forum (2010)

We, more than 700 delegates representing people’s organizations from ASEAN countries gathered together at the 6th ASEAN Peoples’ Forum in Hanoi, Vietnam, from 24-26 September 2010 under the theme “Solidarity and Action for a People-Oriented ASEAN” have discussed and concluded the following:

We reaffirm the fundamental principles of people-centered sustainable development, democratic governance, human rights, sovereignty of peoples, dignity and the best interests of disadvantaged and vulnerable groups in the pursuit of economic, social, gender and ecological justice so as to bring peace and prosperity to the Southeast Asian region.

We support the specific objective laid out in the ASEAN Charter of building a people-oriented ASEAN Community. We believe that this process should include:

  • Political Security - The ASEAN and its member countries should work collectively to promote effective mechanisms and agreements to maintain peace and security for conflict prevention and the non-violent settlement of disputes. The ASEAN and its member countries should also work towards further democratization including free and fair elections,  the promotion and protection of human rights based on international humanitarian and human rights laws and standards and enhancement of people’s collective rights and participation.
  • Economic Development - ASEAN’s economic integration and cooperation should focus on enhancing mutual assistance, and complementary growth based on the principles of solidarity, equity and environmental sustainability. The ASEAN and its member countries should move away from the flawed neo-liberal economic paradigm and promote and advance alternative  democratic economic models to provide equitable, socially and ecologically sustainable development to benefit all its peoples, narrow the gaps of development within and among member countries and ensure economic sovereignty and the interests of the working people and marginalized communities. At the same time, the ASEAN and its member countries must recognize already existing practices of self-sufficiency and sustainable resource management of local communities, effectively protect environment and address the problem of global climate change and its impacts in the region.
  • Environment - The ASEAN region face urgent multiple environmental crises, including climate change, in large part due to the large-scale “development” projects within the region and the plunder, abuse and destruction of ecological resources that are associated with unsustainable and inequitable economic systems and policies. The ASEAN and its member governments should work together to comprehensively address these environmental crises and ensure that the sustainable use of ecological resources be integral to all economic policies. The ASEAN and its member governments should actively contribute to global solutions including ensuring that those primarily responsible - governments, corporations and institutions - are held accountable and fulfill their obligations for the restoration of environmental integrity and reparations to those who suffer the consequences of environmental crises.
  • Social Protection and Culture - Everyone in the ASEAN region should be protected and benefit equally and fairly from development and economic growth, especially children, women, migrants, youth, indigenous peoples and ethnic minorities, religious communities, workers, trade unions, peasants, fisher folk, refugees, stateless persons and internally displaced peoples, the elderly, persons with disabilities, LGBTIQ (lesbians, bisexuals, gay, transgender, intra-sexual and queer), people living with HIV/AIDS and other impoverished, disadvantaged and marginalized communities. The ASEAN and its member countries must focus on poverty elimination, ensuring decent work, the development of public services including  quality health care, housing, and education for all with consideration for gender perspectives. The ASEAN must also foster the development of a healthy, empowering, non-discriminatory and humane culture. Social and cultural development must promote equality and people’s participation at every level. 
  • People’s Participation - People’s participation is central to democracy and a basic right.  While appreciating the lofty goals set out in the ASEAN Charter around building a people-oriented community, we are disappointed and concerned that until date the ASEAN has not made significant progress in ensuring increased transparency and access to information and meaningful participation in ASEAN affairs. People’s organizations and civil society organizations and including those of children must be part of the discussion around economic models, social protection, respect for cultures, human rights, the environment and peace and conflict resolution. We call on the ASEAN to develop mechanisms for the meaningful engagement of people’s organizations in all ASEAN processes.


We resolve to work together through plans of joint action to:

  • Overcome social and cultural barriers,  inequalities and differences in order to promote better understanding, friendship, cooperation and people’s integration in the spirit of solidarity and culture of peace among peoples in ASEAN,
  • Learn from each other’s experiences and advance common struggles for peace, equitable and sustainable development, for people-centered democracy and human rights and for social justice and progress to actively contribute to the building of a people-oriented community of ASEAN,
  • Promote our shared principles.


We urge the governments of the ASEAN to:

  • Give primacy to the protection and full realization of the rights of children, women, migrants, youth, indigenous peoples and ethnic minorities, religious communities, workers, trade unions, peasants, fisher folk, refugees, stateless persons and internally displaced peoples, the elderly, persons with disabilities, LGBTIQ, people living with HIV/AIDS, victims of Agent Orange/Dioxin and other impoverished, disadvantaged and marginalized communities as a key goal of the ASEAN integration process;
  • Adopt and implement a Fourth Strategic Pillar on the Environment in order to effectively address all environmental problems especially those caused by trans-boundary policies and projects, and urgently respond to the climate crisis;
  • Heed the recommendations of the People’s Forum and promote concrete policies and programs designed to advance human rights, economic and environmental justice and social security, and to do so through mechanisms promoting for people’s participation in the process of building ASEAN into a multi-dimensional community; 
  • Form, at the soonest, an effective mechanism for dialogue, coordination and cooperation between people’s organizations and official channels in the region, including through ASEAN Secretariat itself;
  • Accelerate the implementation of the functions of the newly-established AICHR and ACWC to operate effectively and in a way that is responsive to the needs of people in the region; and
  • Support the ASEAN people’s programs of action, measures aimed at developing communication, interaction and cooperation among ASEAN people’s organizations.

We call upon ASEAN and its member governments to undertake the following:
1. Poverty is a serious problem in Southeast Asia. It is the result of decades of war, structural inequalities, inappropriate and ineffective programs, and trade and development policies that benefit elites rather than the needs of poor communities. The ASEAN and its member governments should undertake basic economic and social reforms and cease liberalization, budget austerity measures and other policies that contribute to impoverishment. ASEAN member governments should also learn from countries in the region that have followed diverse models and made significant steps to eliminate poverty.

2. Agriculture is way of life for the majority of people in the region. We call on the ASEAN and member governments to invest in a new model of sustainable agriculture that should include support for agrarian reform, small farmers, women, recognition of the traditional occupations of indigenous peoples and respect for the environment. Given the diverse nature of farmers in the region, ASEAN governments should promote and prioritize an investment model that includes financing for cooperatives, fair trade and scaling up best practices from the community level. We call on the ASEAN to establish a regional agriculture policy in line with the above.

3. Economic integration based on Free Trade Agreements has had serious effects on livelihoods of different sectors of the society including farmers, workers and women. The ASEAN and its member governments should promote alternative investment, trade, finance and development policies that put people first and strengthen domestic economies. The review of all free trade agreements that have disproportionately benefited the rich and multi-national companies at the expense of poor and marginalized communities is an important step towards a new economic model based on people’s basic rights and interests. Such a process should be transparent and inclusive, involve the active participation of all stakeholders, especially poor and marginalized communities. It should take place at the national and regional levels.

4. The ASEAN and its member governments should mobilize finance to eliminate poverty without exacerbating the debt burden and implement economic policies that build the domestic financial capacity of member countries. ASEAN member states should implement official audit of public debt. Debts found to be illegitimate should be repudiated to free up fiscal space for much needed social and development infrastructure. The member states should refuse the attachment of conditions to loans and grants - including those imposed by the IMF, World Bank, ADB and other international financial institutions. ASEAN countries should implement macro-economic policies that will promote sustainable growth and people-centered development through open, transparent and participatory decision-making processes. The ASEAN should set up a mechanism to help the member countries eliminate their debt burdens.

5. Natural resources are public goods. The ASEAN and its member governments should ensure:

  • That ecological resources of the region remain under the control of and be used for the equitable benefit of the peoples of Southeast Asia.
  • The extraction and the use of natural resources should be carried out only to the benefit and with the consent of the community in a transparent, accountable, ecologically sustainable and gender-fair manner, should genuinely contribute to poverty elimination, and should not violate human rights nor harm lives and livelihoods.
  • The protection of the rich biodiversity in the region without compromising the traditional livelihoods of local communities.


The ASEAN and its member states should recognize the human right to water and that water is a part of the commons. It should ensure that all citizens have adequate and clean water needed to sustain life and that water services remain in public hands. The ASEAN and its member states should promote safe, clean and sustainable energy and address the challenges associated with the climate crisis.

6. The climate crisis is a grave threat to the ASEAN region. ASEAN countries should act as a bloc to demand that Annex 1 countries drastically reduce carbon emissions and provide condition-free non-debt creating financing for adaptation and sustainable development as part of reparations for climate debt owed to the Global South. Countries should also prepare for the ecological effects of climate change and ensure the participation of vulnerable communities in this project. Mitigation and adaptation strategies should not exacerbate existing vulnerabilities and inequalities.

7. ASEAN governments should guarantee the right to formal and informal education for all including early childhood education and bilingual education, especially for the disadvantaged people such as indigenous peoples and ethnic minorities, women and girls,  persons with disabilities and those coming from remote and distant areas. In order to deliver on this commitment principle, governments must spend 6% of GNP on the improvement of access to quality and relevant education,  stop the privatization of education and other policies that risk rationing educational services based on who can afford to pay. Without delay, the ASEAN must implement its 10 point Agenda to Reach the Unreached.

8. ASEAN governments should ensure universal access to health services, including the fulfillment of sexual and reproductive health needs and addressing sexually-transmitted diseases.  ASEAN member countries must respond to health problems, which are otherwise preventable but are still causing alarming mortality rates especially among  impoverished and vulnerable populations. For example, more effective means must be undertaken to accelerate reduction in the maternal mortality ratio. For more effective health-related interventions, the ASEAN should encourage member states to adopt clear, adequately funded, non-discriminatory and equitable policies and programs of implementation. Necessarily, the governments would have to ensure inputs especially from high-risk communities and be guided by data disaggregated for sex, ethnicity, age and other relevant parameters.

9. The ASEAN should promote cooperation among member states to urgently address the issue of HIV/AIDS in the region. Different interventions are needed to respond to different country situations, but there is agreement on the need for prevention. Since HIV/AIDS recognizes no boundaries, action must be taken across countries to immediately start and/or sustain preventive and curative actions including providing access to affordable and quality medicines. The ASEAN must also urge all member states to enact laws that will eliminate all forms of discrimination against people living with HIV/AIDS.

10. As articulated in the Charter, respect for human rights and democracy should be a key part of the ASEAN community. All countries should have national human rights institutions to independently monitor and improve the promotion and protection of human rights and fundamental freedoms. The AICHR, ACWC and ACMW should be part of this process. In this regard the ACWC must be convened at the soonest possible time; and towards this we urge the Philippine government to immediately select a representative through a transparent and inclusive process. Countries should also be encouraged to move towards systems of government that include checks and balances as well as free and fair elections to prevent abuses of power and human rights violations. The ASEAN should urge all member states to ratify and implement and enforce all humanitarian and international human rights treaties and agreements. The ASEAN Declaration on Human Rights must undergo consultations with the peoples of the ASEAN, conform with international human rights standards and be adopted by the ASEAN Ministerial meeting.

11. Children and young people make up the majority of the population of Southeast Asia. ASEAN governments should fulfill their obligations under the UN Convention of the Rights of the Child and other human rights for all children within and across their borders regardless of national and legal status. We urge the governments of the ASEAN to coordinate efforts at national and regional levels top address cross-border issues such as trafficking, migration, emergencies, violence and armed conflicts and ensure the inclusion of children, especially marginalized children in processes that affect them.

12. The ASEAN must ensure meaningful and substantive participations and representation of women in all ASEAN processes and structures as generated by the ASEAN Charter. ASEAN member states must allocate resources to ensure promotion and protection of all human (social, economic and political) rights of women in Southeast Asia, especially the marginalized groups, and end harmful cultural practices, discriminatory policies and change legislations by advancing policies and laws to advance women’s human rights and de facto gender equality in Southeast Asia. Trafficking of persons and especially of women and children must be stopped in the ASEAN by adopting a legally binding instrument through a rights-based and victim-centered approach. 

13. The ASEAN and its member governments should ensure protection, promotion, and the realization of the rights of all workers including migrant workers. Towards these, all ASEAN member countries should:

  •  Adopt the ASEAN Social Charter and implement the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the rights of migrant workers (ADMW).
  • Amend labor laws regulating recruiting agencies.
  • Harmonize their labor laws in line with the ILO Fundamental principles (C.87 and C.98) and trade union rights (the right to organize at work), the ADMW, and relevant ILO Conventions 97 on Migration for Employment, 143 on Migrant Workers (Supplementary Provisions), 177 on Home Workers Convention, 181 on Private Employment Agencies,  and other related Conventions.
  • Push for the establishment of the Convention on Domestic Workers. 
  • Ensure that ASEAN Instruments on the protection and promotion of the rights of all migrant workers are legally binding, and hold accountable those in both private and public sectors who violate these laws;        formulate and adopt a policy to liberalize labour migration so that ASEAN nationals, especially migrant workers can move with dignity. 
  • Give adequate protection, fair wages and access to decent living and working conditions to all workers, including migrant workers, and workers in informal sectors.


14. Artisanal and traditional fishers play a key role in managing coastal and inland water resources and provide a substantial portion of food in the ASEAN region, but their specific needs, concerns and rights are often ignored. The ASEAN must protect fisher people from unsustainable forms of commercial fishing, and the impact of large development projects such as the construction of the hydropower dams on the Mekong and coastal industrialization projects. The ASEAN must play a role in peacefully resolving border and trans-boundary conflicts in coastal zones, as referred to in the UN Convention on the Law of the Seas.

15. The ASEAN must recognize, respect and ensure the full realization of the collective rights of the indigenous peoples and marginalized ethnic minorities over their land territories and resources which include the implementation of the safeguard provision for the Free, Prior and Informed Consent of affected communities in all projects and programs. The ASEAN should establish an independent working group and monitoring mechanism within AICHR promoting and ensuring the protection of Indigenous Peoples and Ethnic Minorities’ rights, with their effective participation.

16. The rights of people with disabilities including the victims of Agent Orange/Dioxin and unexploded ordinance and other marginalized communities should be prioritized and mainstreamed in the ASEAN community. The ASEAN and its members should ratify and/or implement all related UN treaties and protocols and instruments. Mechanisms should be put in place at the local, national and regional levels to ensure that their voices are heard, that their rights are recognized and protected across the region, that decisions are made with their active participation.

17. All ASEAN states should be encouraged to sign, ratify and implement the Convention Relating to the Status of Refugees, the Convention on the Status of Stateless Persons and the Convention on the Reduction of Statelessness. This would include implementing domestic legislation and policies such as respecting the principle of non-refoulement (no forcible repatriation), giving all refugees, asylum seekers and stateless persons the same rights as citizens, and ensuring that they be provided with employment, universal birth registration, health care and education. The ASEAN should create a regional mechanism to support the rights of refugees and stateless people. The rights of refugees and stateless persons should be explicitly included in the mandate of the AICHR and safeguarded in the proposed ASEAN Declaration on Human Rights.

We welcome and appreciate the participation of ASEAN Secretariat in the Forum and express our sincere thanks to the Vietnamese organizing committee, the host government, and the Vietnamese people for the extended hospitality and facilitation of this ASEAN People’s Forum. We congratulate Hanoi on the celebration of its Millennium Anniversary.

***

HYPERLINK
http://apfvietnam2010.org.vn/modules.php?name=Content&opcase=viewcontent&mcid=65&menuid=41

Wednesday, October 20, 2010

Sungai di Wasior Perlu Dinormalisasi

Manokwari, Kompas - Pembangunan hunian baru di Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat, sepatutnya diimbangi normalisasi sungai dan pembuatan tanggul di empat sungai yang—tanggal 4 Oktober lalu—mengalirkan material banjir bandang. Ide ini bertujuan melindungi permukiman di sana dari kemungkinan bahaya banjir susulan.

"Secara umum, Wasior adalah daerah rawan banjir dan tanah longsor. Untuk rencana jangka pendek, penting membuat tanggul dan normalisasi sungai," demikian penekanan Kepala Bidang Pengamatan Gempa dan Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Gede Suantika, Selasa (19/10). Badan Geologi bertugas mengamati dan memberikan rekomendasi terkait kondisi Wasior.

Menurut Gede, ada empat sungai yang harus dinormalisasi dan dibuatkan tanggul, yaitu Sanduay, Miei, Anggris, dan Manggurai. Akibat banjir bandang pada 4 Oktober lalu, lumpur mengendap di sungai dan membuat air mudah meluap saat hujan. Selain itu, bantaran sepanjang sisi sungai pun kini rusak parah.

Guna mencegah banjir susulan, lanjut Gede, pengerukan lumpur dan perbaikan tanggul harus segera dilakukan. Dengan begitu, luapan air tidak lagi menggenangi lokasi perumahan baru.

Sebelumnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan pemerintah daerah berencana membangun sekitar 1.000 hunian sementara bagi pengungsi di Wasior. Daerah hunian yang diusulkan antara lain Ramiki dan Wandiboi.

"Normalisasi dan pembangunan tanggul sebaiknya secepatnya. Hujan diperkirakan masih akan turun di Wasior hingga Januari 2011," kata Gede mengingatkan.

Rawan

Dari Kandangan, Kalimantan Selatan, dilaporkan, tujuh rumah warga dan satu tempat ibadah di Desa Malinau, Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, yang hancur diterjang air Sungai Kandihin, Senin sore, disebabkan lokasinya berada di titik rawan. Bangunan itu berada di bibir sungai tepat pada bagian yang berkelok sehingga mudah terempas air.

Berdasarkan hasil pemantauan Kompas kemarin siang, rumah-rumah yang hanyut hanya meninggalkan tiang penyangga. Rumah lainnya yang masih berdiri ada yang fondasinya mengalami retak dan ada pula yang bergeser.

Beberapa warga mengatakan, selain tujuh rumah dan satu musala hanyut, satu sepeda motor warga pun hilang terbawa arus. "Sekitar 10 rumah lainnya rusak ringan," demikian warga.

Di kawasan arah hilir, kemarin puluhan rumah di Desa Karang Jawa Muka masih terendam air luapan Sungai Amandit. Hal serupa terjadi di permukiman yang berada di tepian Sungai Tapin, Kota Rantau, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.

Kerugian Rp 200 juta

Masih soal bencana alam, dari Yogyakarta dilaporkan, kerugian materi akibat rumah ambles ke Kali Buntung, Karangwaru Lor, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta, Senin malam lalu, Rp 200 juta. Pemkot Yogyakarta meminta warga yang tinggal di sepanjang bantaran kali waspada mengingat curah hujan masih tinggi.

Rumah permanen dengan tiga kamar tidur itu ambles setelah tanahnya longsor tergerus derasnya arus kali karena hujan mengguyur sejak sore. Penghuni rumah yang cepat menyadari hal itu berhasil menyelamatkan diri sebelum rumahnya roboh.(SY)