Friday, December 17, 2010

Sektor Lingkungan Belum Terlindungi

Semarang, kompas - Hingga akhir tahun 2010, kondisi lingkungan dan kawasan pesisir di Jawa Tengah tidak kunjung membaik. Berbagai bencana ekologis terjadi karena peraturan yang dibuat pemerintah daerah belum mampu melindungi sektor lingkungan.

 

Hal ini terangkum dalam catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam isu lingkungan dan pesisir tahun 2010 yang disusun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. ”Kebijakan pemerintah justru membuat lingkungan dan pesisir menjadi salah urus,” kata Staf Operasional Isu Lingkungan dan Pesisir LBH Semarang, Erwin Dwi Kristanto, Senin (13/12) di Semarang.

 

Berdasarkan data LBH Semarang, selama 2010 terjadi 35 bencana ekologis di Jawa Tengah. Sebanyak 15 bencana ekologis di antaranya terjadi di Kota Semarang. Kasus konflik area tangkap dan reklamasi juga paling banyak terjadi di Kota Semarang.

 

Bencana ekologis itu meliputi kerusakan lingkungan pesisir akibat abrasi, akresi, dan rob yang sebagian besar disebabkan ulah manusia. Misalnya, abrasi di wilayah Kabupaten Kendal, Demak, dan Kota Semarang yang dipicu reklamasi pantai.

 

Menurut Erwin, kerusakan pesisir biasanya disebabkan oleh kalangan korporasi yang membangun pabrik dengan cara mereklamasi pantai. Namun, saat ini muncul kecenderungan bahwa pemerintah membuat peraturan baru yang lebih memudahkan pihak korporasi itu menguasai lahan pesisir.

 

Kota Semarang merupakan salah satu daerah di Jateng yang saat ini sedang menyusun rancangan peraturan daerah (perda) tentang pesisir. Proses ini menjadi sorotan tajam beberapa pihak termasuk LBH Semarang, karena ada upaya memasukkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) ke dalam perda itu.

 

”Jika HP3 diterapkan, pihak swasta semakin berkuasa dan kerusakan makin parah,” kata Erwin. Dengan mendapat HP3, seseorang bebas mengelola kawasan pesisir dan perairan sepanjang 12 mil dari bibir pantai. Orang lain yang melanggar zona itu dapat dikenai sanksi pidana.

 

Contoh lain kegagalan pemerintah dalam melindungi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya adalah melalui program The Blue Revolution Policies. Program yang bertujuan memperkuat sektor perikanan itu tidak dapat diterapkan dengan baik di daerah. ”Di Jateng, 17 kabupaten/kota justru menerapkan retribusi terhadap nelayan kecil,” kata Erwin.

 

Ketua Panitia Khusus Rancangan Perda Pengelolaan Pesisir dan Perikanan DPRD Kota Semarang, Agung Budi Margono, mengatakan, proses penyusunan perda itu terhenti karena menunggu Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang. ”Tetapi, kami terima aspirasi masyarakat mengenai HP3 itu,” katanya.

 

Dalam monitoring LBH Semarang terhadap sektor lingkungan nonpesisir, Kota Semarang juga menduduki peringkat terburuk. Dari 14 kasus persoalan lingkungan yang disorot di Kota Semarang, 5 di antaranya merupakan kasus pencemaran lingkungan, dan 4 kasus di antaranya merupakan penerbitan izin bermasalah atau tanpa kajian lingkungan. (DEN)

 

 

Tuesday, December 14, 2010

Fadel: Laut Belum Jadi "Mainstream" Pembangunan Nasional

Jakarta (ANTARA) - Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengatakan, sektor kelautan dan perikanan masih belum menjadi "mainstream" (arus utama) dalam pembangunan nasional sehingga potensinya belum maksimal dimanfaatkan.

 

"Faktor utama yang menjadi kendala adalah laut belum menjadi `mainstream` dalam pembangunan nasional," kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

 

Karenanya, menurut Fadel, melalui momentum Hari Nusantara yang diperingati setiap 13 Desember, pemerintah dan rakyat harus menyadari bahwa Indonesia memiliki jati diri sebagai bangsa maritim dan negara kepulauan terbesar serta berbudaya bahari di dunia.

 

Oleh sebab itu pula, ujar dia, peringatan Hari Nusantara pada tahun 2010 ini mengambil tema "Hari Nusantara Membangkitkan Budaya Bahari".

 

Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengatakan, berbicara kenusantaraan tidak terlepas dari soal kewilayahan.

 

"Secara fisik wilayah negara Indonesia yang didasarkan pada UNCLOS 1982, wilayah laut mendominasi luas Indonesia, yaitu kurang lebih 75 persen," katanya.

 

Ia mengutarakan harapannya agar momentum peringatan Hari Nusantara kali ini dapat digunakan untuk lebih memahami akan kehidupan masyarakat pesisir dan di pulau-pulau terdepan wilayah perbatasan.

 

Di tempat terpisah Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) M Riza Damanik kepada ANTARA mengatakan, perayaan Hari Nusantara setiap 13 Desember patut dioptimalkan oleh negara untuk melindungi dan menjamin keselamatan setiap warga di Kepulauan Indonesia dari ancaman bencana iklim.

 

Riza juga mendesak agar pemerintah juga tidak melakukan kebijakan yang hanya menyiratkan adanya ekspansi perekonomian dari darat ke laut.

 

Sebagaimana diketahui, perayaan Hari Nusantara dibuat untuk memperingati Deklarasi Djuanda yang dibuat pada 1957.

 

Deklarasi Djuanda adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.

 

Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yang mengatakan bahwa pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai.

 

Dengan demikian, sebelum adanya Deklarasi Djuanda, kapal asing bebas berlayar di kawasan perairan yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

 

__,_._,___

Tujuh Puluh Lima Persen Hutan Bakau di Sumut Rusak

 

Medan, Kompas - Kerusakan kawasan pesisir akibat perambahan dan konversi lahan menjadi perkebunan sawit membuat kawasan tutupan hutan bakau di Sumatera Utara tersisa 25 persen. Sebanyak 75 persen atau 62.800 hektar di antaranya sudah rusak.

Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara menunjukkan, kerusakan terbesar terjadi di Kabupaten Langkat. Dari 35.500 hektar hutan bakau di daerah itu, sebanyak 25.300 hektar atau 71,6 persen di antaranya rusak. Di Tanjung Balai-Asahan, dari 14.400 hektar hutan bakau, sebanyak 12.900 hektar atau 89,5 persen di antaranya rusak. Sementara di Deli Serdang-Asahan, 12.900 hektar atau 64,5 persen dari total 20.000 hektar hutan bakau rusak.

Kerusakan juga terjadi pada hutan bakau di Nias, Labuhan Batu, Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, dan Medan. Di Medan, dari 250 hektar hutan bakau, kerusakan terjadi pada 150 hektar. Sementara di Nias, kerusakan baru sekitar 6 persen atau 650 hektar dari 7.200 hektar yang dimiliki. Data didasarkan foto citra satelit yang dibuat Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut.

Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut Matius Bangun hari Rabu (27/1) mengatakan, hutan bakau ditangani tiga instansi. Dinas Kehutanan menangani areal kawasan hutan, Dinas Kelautan dan Perikanan di kawasan budidaya, serta Badan Lingkungan Hidup mengurusi bakau di zona kawasan industri. Namun, kerusakan terus bertambah.

Penyelamatan

Kerusakan terutama terjadi karena perambahan kawasan pesisir yang sudah terjadi puluhan tahun. Kini, kondisi kawasan hutan bakau sudah beralih fungsi menjadi banyak hal, seperti permukiman dan perkebunan, terutama lahan kelapa sawit.

Menurut Matias, ada 10.000 hektar lahan perikanan budidaya udang di Sumut yang tidak berfungsi lagi karena bisnis ini tak berkembang. "Semestinya lahan dialihfungsikan menjadi hutan bakau kembali. Namun, kini lahan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit," tuturnya.

Upaya penyelamatan sudah dilakukan sejumlah pihak, baik instansi pemerintah maupun swasta, tetapi belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Badan Lingkungan Hidup menyatakan perlu waktu sedikitnya 10 tahun untuk memperbaiki hutan bakau yang ada di Sumut. (WSI)

 

http://regional.kompas.com/read/2010/01/30/02533281/75.Persen.Hutan.Bakau.di.Sumut.Rusak

 

Monday, December 13, 2010

Banyak Negara Ditekan Soal Iklim

 

KOMPAS: Kawat-kawat diplomatik menunjukkan bagaimana Amerika Serikat memanipulasi perjanjian soal iklim, memperlihatkan bagaimana AS menggunakan peran mata-mata, ancaman, dan janji-janji bantuan untuk meraih dukungan demi terciptanya kesepakatan Kopenhagen pada Desember 2009.

Tersembunyi di balik retorika penyelamatan dunia, terdapat realitas politik yang berlepotan dengan absurditas. Demikian bagian dari petikan berita-berita harian Inggris, The Guardian, selama beberapa hari pada awal Desember ini setelah menganalisis kawat-kawat diplomatik AS yang meluncur di situs WikiLeaks.

Dokumen tak resmi pun muncul dari pertemuan puncak soal iklim di Kopenhagen. Sejumlah negara miskin bersedia mengurangi emisi, dengan tawaran bantuan yang sebenarnya tidak akan pernah diterima.

Namun, dengan kesediaan ini, Uni Eropa dan Amerika Serikat merasa telah menolong pengurangan emisi karena membantu sejumlah negara mengurangi emisi lewat bantuan, dijuluki carbon trading.

Perundingan untuk pencapaian traktat ini merupakan permainan dengan taruhan tingkat tinggi. Ini adalah perekayasaan kembali perekonomian global dengan model karbon rendah, yang menyaksikan pembalikan arus uang miliaran dollar AS. Dengan mengurangi emisi, negara-negara berkembang meredam laju pembangunan ekonomi. AS dan UE terus bebas memuncratkan polusi demi pembangunan ekonomi, juga menjual "teknologi hijau".

Untuk meraih kekuatan negosiasi, yang berakhir dengan penandatanganan kesepakatan itu, Deplu AS mengirim kawat rahasia pada 31 Juli 2009, yang mengincar para diplomat berbagai negara yang bertugas di PBB, termasuk yang menangani perubahan iklim. Permintaan itu berasal dari CIA. Tujuannya, melihat posisi dan tawaran negara-negara menjelang pertemuan Kopenhagen. Para diplomat diminta mengincar rancangan traktat dan kesepakatan yang akan disetujui.

Pembicaraan AS-China gagal meraih kesepakatan global di Kopenhagen. China cukup lihai melihat permainan AS, yang dinilai hanya menekan dan tidak mau menekan emisi global. Namun, AS, polluter terbesar dunia dan paria iklim yang terisolasi, memiliki sesuatu untuk disepakati sejumlah negara. Persetujuan itu dipalu di jam-jam menentukan, tetapi tidak lewat proses PBB. Persetujuan itu dicapai karena pendiktean. Perjanjian ini tak menjamin pengurangan emisi yang dibutuhkan dunia untuk menghindari pemanasan, itu pun jika pemanasan itu benar-benar terjadi.

Kesepakatan itu juga bertujuan meredam PBB untuk memperpanjang protokol Kyoto, yang mewajibkan negara-negara kaya mengurangi polusi. Hal ini kemudian membuat banyak negara mendadak menentang kesepakatan yang sudah diteken.

Lepas dari itu, untuk merangkul sejumlah negara agar bersedia mengikat dirinya pada kesepakatan, demi melayani kepentingan AS, serangan-serangan diplomatik diluncurkan.

Kawat-kawat diplomatik mengalir keras dan cepat antara akhir pertemuan Kopenhagen dan Februari 2010. Sejumlah negara berhasil dibujuk untuk sebuah kesepakatan, yang menjanjikan bantuan 30 miliar dollar AS, khususnya bagi negara-negara miskin yang terpukul pemanasan global, yang bukan mereka buat.

Dua minggu setelah Kopenhagen, Menlu Maladewa Ahmed Shaheed menulis kepada Menlu AS Hillary Clinton. Dia mengekspresikan keinginan untuk mendukung kesepakatan.

Pada 23 Februari 2010, Dubes Maladewa yang yang dirancang untuk posisi AS Abdul Ghafoor Mohamed berkata kepada wakil utusan iklim AS, Jonathan Pershing, negaranya menginginkan "bantuan nyata". Ghafoor mengatakan, negara lain kemudian akan tergiur merealisasikan "manfaat bantuan yang diraih dengan mengikuti perjanjian" yang dilakukan Maladewa.

"Ghafoor merujuk beberapa proyek berbiaya 50 juta dollar AS. Pershing menyemangatinya untuk memberi contoh konkret dan biaya dengan tujuan meningkatkan bantuan bilateral."

 

Kreativitas akuntansi

Menurut kawat pada 11 Februari, Pershing bertemu dengan Ketua Komisi Aksi Iklim Uni Eropa Connie Hedegaard di Brussels, Belgia. Hedegaard mengatakan, "Negara-negara kecil bisa menjadi sekutu terbaik sehubungan dengan kebutuhan mereka akan bantuan."

Namun, pasangan ini berpikir soal cara pencarian bantuan 30 miliar dollar AS. Hedegaard mengajukan ide beracun. Apakah semua bantuan AS berbentuk tunai? Hedegaard bertanya apakah AS sekadar melakukan "kreativitas akuntansi".

Pershing mengatakan, "Para donor harus menyeimbangkan keperluan politik soal bantuan itu dengan kendala ketatnya anggaran negara."

Dari sini, negara berkembang melihat bahwa banyak dari janji bantuan untuk lingkungan itu merupakan pengalihan dari bantuan yang sudah pernah dijanjikan untuk urusan lain.

Pada bagian lain dari kawat itu, Hedegaard bertanya mengapa AS tidak sepakat dengan China dan India atas apa yang dia lihat sebagai tawaran yang bisa diterima untuk pengurangan emisi pada masa datang. China dan India sama-sama siap mengurangi emisi jika AS dan UE juga siap.

Berikut ini adalah isi kawat lain. Pada 2 Februari 2009, sebuah kawat dari Addis Ababa melaporkan pertemuan antara Wakil Menlu AS Maria Otero dan PM Etiopia Meles Zenawi, yang akan memimpin pertemuan perubahan iklim Uni Afrika.

Kawat rahasia itu memuat ancaman tegas AS terhadap Zenawi: "Tanda tangani perjanjian atau diskusi harus berakhir sekarang". Zenawi merespons bahwa Etiopia mendukung kesepakatan, tetapi jaminan personal Presiden Barack Obama soal bantuan tidak dipenuhi.

Determinasi AS untuk menemukan lawan beratnya—Brasil, Afrika Selatan, India, dan China—tertuang dalam kawat lain dari Brussels pada 17 Februari 2010. Kawat ini melaporkan pertemuan antara Wakil Penasihat Keamanan Nasional Michael Froman, Hedegaard, dan para pejabat UE lainnya.

Froman mengatakan, UE dan AS harus menyembunyikannya ketidakcocokan untuk mengatasi perlawanan negara-negara ketiga. Hedegaard menjamin Froman akan dukungan itu.

Hedegaard dan Froman juga mendiskusikan keperluan untuk "menetralisasi, mengooptasi, atau memarginalkan negara-negara yang tidak tertangani, termasuk Venezuela dan Bolivia". Kemudian, pada April 2010, AS menghentikan bantuan kepada Bolivia dan Ekuador karena menolak kesepakatan.

Setelah pertemuan Kopenhagen, pengikatan lebih jauh bantuan keuangan demi dukungan politik mencuat. Para pejabat Belanda juga menjadi sasaran. Belanda awalnya menolak tekanan AS, tetapi akhirnya membuat pernyataan pada 25 Januari.

Menurut kawat itu, perunding Belanda soal iklim, Sanne Kaasjager, "... menyusun pesan-pesan ke berbagai kedutaan di negara-negara penerima bantuan Pemerintah Belanda untuk mendukung kesepakatan. Ini sebuah langkah yang tak pernah dilakukan sebelumnya oleh Pemerintah Belanda, yang secara tradisional menolak pengaitan bantuan utang untuk kepentingan politik."

Sekarang 140 negara sudah di tangan, dan ini diungkapkan Pershing dalam pertemuannya dengan Hedegaard pada 11 Februari. Sebanyak 140 negara itu mewakili 75 persen dari 193 negara yang menjadi peserta konvensi PBB soal perubahan iklim. Negara-negara ini juga menegaskan, mereka bertanggung jawab atas 80 persen emisi global.

Pada pertemuan iklim di Cancun, Meksiko, muncul kejutan terbesar. Jepang mengumumkan tidak akan mendukung perpanjangan traktat Kyoto. Ini memberi dukungan besar kepada AS. Roda diplomatik AS dan deal-deal-nya tampaknya memberi hasil.

Di Cancun, Amy Godman dari New America bertanya pada Stern soal kawat-kawat itu. "Saya tidak punya komentar," kata Stern yang mengecam bocoran kawat itu. Hedegaard juga berkomentar, "Kawat-kawat itu cuma berisi sepenggal dari serangkaian pembicaraan." (MON)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/12/03194298/banyak.negara..ditekan.soal.iklim

Bangun PLTA, Perambah Harus Ditertibkan

Posmetrojambi.com, 13 Desember 2010

JAMBI - Organisasi lingkungan hidup KKI Warsi meminta pemerintah untuk menertibkan perambah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Permintaan ini disampaikan terkait dengan rencana pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Telun Berasap di Kabupaten Kerinci. “Kami sangat mendukung rencana pembangunan PLTA tersebut.

Dengan adanya PLTA akan menjawab pertanyaan yang  selama ini diungkapkan, apa sih manfaat yang diberikan TNKS?” kata Rudi Syaff, Manajer Komunikasi KKI Warsi.Namun, pembangunan PLTA tersebut akan sia-sia jika pemerintah membiarkan perambahan terus berlangsung. Perambahan akan mengakibatkan tutupan hutan di TNKS menjadi berkurang. “PLTA tersebut akan menggunakan air dari Danau Gunung Tujuh yang ada di dalam kawasan TNKS. Jika banyak perambahan, maka daerah resapan airnya akan berkurang. Jika  kawasan resapan berkurang, akan menyebabkan suply air ke Danau Gunung Tujuh juga akan berkurang. Akibat lebih jauh, jika air Danau Gunung Tujuh berkurang dan debit air terjun Telun Berasap akan berkurang. Maka, nasib PLTA Gunung Tujuh tak akan jauh beda dengan PLTA Koto Panjang yang saat ini tidak bisa dioperasikan karena ketiadaan sumber air,” jelas Rudi Syaff.

Rudi menambahkan, pemerintah harus bersikap tegas terhadap para perambah. Jika terus dibiarkan, bukannya tidak mungkin hutan TNKS akan habis berganti menjadi kebun kentang. Namun demikin, tambah Rudi, pemerintah juga harus memberikan solusi kepada para penggarap lahan TNKS. “Harus ada solusi buat mereka, jangan asal usir. Harus dipikirkan bagaimana penghidupan mereka setelah keluar dari kawasan TNKS,” tegas Rudi Syaff.

Menurut data Balai Besar TNKS, saat ini ada sekitar 6 ribu Kepala Keluarga (KK) yang merambah kawasan taman nasional. Mereka telah mengolah lahan di dalam kawasan TNKS seluas sekitar 25 ribu hektar. Sebelumnya, pemerintah telah mengultimatum para perambah agar meninggalkan lahan garapannya paling lambat 1 Desember lalu. Namun, setelah melewati tenggat waktu tersebut, mayoritas perambah memilih bertahan. Hanya sedikit perambah yang meninggalkan lokasi secara suka rela.

Pemerintah sendiri tidak melakukan pengusiran perambah yang bertahan. Menurut Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar TNKS, Persada Agussetia Sitepu, pihaknya tidak mungkin melakukan pengusiran perambah di Kerinci. “Berbeda dengan di Lembah Masurai yang mana perambahnya adalah para pendatang. Sementara di Kerinci perambahnya adalah warga setempat. Kami tidak mungkin melakukan tindakan tegas karena bisa menimbulkan kekisruhan,” kata Agussetia. (usm)

Sunday, December 5, 2010

Inilah 12 Perusahaan Pelaku Pencemar Lingkungan

JAKARTA-Sebanyak 33 atau 15 persen dari 215 perusahaan yang bergerak di sektor agroindustri memperoleh predikat hitam dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Dua belas di antaranya sudah berpredikat hitam 2 kali, yakni di tahun 2009 dan 2010.

Merujuk pada Laporan Hasil Penilaian Program Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup 2010 yang disiarkan KLH bahwa peringkat warna hitam didefinisikan sebagai usaha dan atau kegiatan yang sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.

“Apabila sanksi administratif tidak dilaksanakan, maka pemidanaan pelaku pencemaran lingkungan hidup sudah sepatutnya dilakukan oleh KLH. Apalagi 12 perusahaan tersebut memperoleh predikat hitam selama 2 kali. Hal ini jelas bertentangan dengan amanah UU PPLH yang tegas melarang terjadinya pencemaran
lingkungan” jelas Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Abdul Halim, dalam rilisnya yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (4/12/2010).

Ke-12 perusahaan tersebut bergerak di bidang pengolahan ikan dan agar-agar yang terdiri dari 7 perusahaan beroperasi di region Jawa, 4 perusahaan beroperasi di region Sumapapua, dan 1 perusahaan beroperasi di Bali Nusra.

Tiadanya itikad baik untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam UU PPLH, dapat diancam pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar. “Jelas ada unsur kesengajaan dari 12 pelaku pencemaran tersebut. Faktanya, dua kali mereka memperoleh predikat hitam,” ungkap Halim.

UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 78 sudah menegaskan bahwa sanksi administratif, yang terdiri dari (1) teguran tertulis; (2) paksaan pemerintah; (3) pembekuan izin lingkungan; dan (4) pencabutan izin lingkungan; tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.

“Terlampau mubazir anggaran dihabiskan untuk penilaian kinerja perusahaan dalam
pengelolaan lingkungan hidup tiap tahunnya, jika penegakan hukum lingkungan sebagaimana dimandatkan UU PPLH tidak dilakukan. Untuk menghindari preseden buruk, sudah seharusnya ke-12 perusahaan ini dipidanakan. KLH harus bergegas, karena ada kecenderungan besar pemerintah daerah yang menjadi lokasi ke-12perusahaan beroperasi tidak menindaklanjuti penilaian tersebut,” terang Halim.
Daftar Perusahaan Berpredikat Hitam 2009-2010
1. PT Centram (agar-agar) - Jawa
2. CV Pasific Harvest (pengolahan ikan) - Jawa
3. PT Avila Prima Intra Makmur (pengolahan ikan) - Jawa
4. PT Bali Maya Permai (pengolahan ikan) - Bali Nusra
5. PT Bitung Mina Utama (pengolahan ikan)- Sumapapua
6. PT Blambangan Raya Foodpackers (ikan) - Jawa
7. PT Deho canning Company (ikan) - Sumapapua
8. PT Manadomina Citrataruna (ikan) - Sumapapua
9. PT Maya Muncar (pengolahan ikan) – Jawa
10. PT Rex Canning Indonesia (pengolahan ikan) - Jawa
11. PT Rex Canning Indonesia (pengolahan ikan) - Sumapapua
12. PT Sumber Yalasamudera (ikan) - Jawa