Wednesday, November 3, 2010

SUKU MENTAWAI : Kami Tak Mengenal Tsunami

Sebuah helikopter mendarat di Desa Eruparabuan, Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, untuk mengirimkan bantuan logistik, Senin (1/11). Tsunami yang menerjang daerah itu tidak dikenal suku Mentawai karena tradisi mereka sebenarnya adalah tradisi meramu di pedalaman.

Ketua DPR Marzuki Alie jelas sangat tidak tahu bagaimana sebenarnya masyarakat Mentawai. Jika Marzuki sampai mengatakan konsekuensi tinggal di pulau seperti Mentawai adalah terkena tsunami, dia tentu tidak tahu bahwa sebenarnya masyarakat di sana tidak mengenal tsunami.

”Masyarakat Mentawai itu aslinya yang peramu. Tinggal di hutan, di hulu sungai, jauh dari pesisir. Kultur masyarakat Mentawai bukan kultur pesisir atau lautan,” ujar aktivis Yayasan Citra Mandiri, Yosep Sarogdok.

Yayasan Citra Mandiri adalah lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan kegiatannya pada persoalan di Kepulauan Mentawai.

Yosep yang merupakan penduduk asli dari Pulau Siberut menuturkan, tradisi sebagai peramu masih belum berubah banyak hingga sekarang.

Domestifikasi ternak hingga tanaman baru dikenal masyarakat Mentawai awal tahun 1970-an. Sebelum masa itu, mereka adalah masyarakat yang hidup dari berburu dan meramu.

Pedalaman

Antropolog dari Yayasan Citra Mandiri, Tarida Hernawati, penulis buku tentang rumah adat tradisional masyarakat Mentawai, uma, menulis, penduduk asli Mentawai tinggal di pedalaman dan pinggir sungai.

Mereka sangat bergantung pada sumber daya alam dari hutan. Bukan dari lautan! Jadi, salah jika menyebut masyarakat Mentawai memiliki kultur pesisir atau lautan.

”Kalau ada nelayan di Mentawai, hampir pasti pendatang, kalau enggak orang Minang, orang Batak, atau orang Nias. Penduduk asli Mentawai selalu tinggal di hulu sehingga kami tak mengenal tsunami,” kata Yosep.

Namun, masyarakat Mentawai mengenal apa yang disebut sigegeugeu alias gempa bumi. Bahkan, saking seringnya gempa bumi terjadi di Mentawai, penduduk asli pun tahu bagaimana menyikapi fenomena alam tersebut.

”Orang tua kami dulu selalu mengajarkan, jika ada sigegeugeu, berlindunglah di bawah pohon pisang. Jelas ini agar kami tak terkena batang kayu hutan yang besar,” kata Yosep.

Selain itu, sigegeugeu justru dianggap berkah oleh penduduk asli Mentawai.

”Jika sigegeugeu datang pada pagi hari seperti waktu gempa kemarin, itu bertanda datangnya musim durian. Kami menyebut sigegeugeu yang terjadi di pagi hari sebagai sipananduk. Cek saja sekarang di Mentawai, pasti lagi banyak-banyaknya durian. Kalau gempanya siang atau sore, biasanya itulah waktu kami mencari induat atau sejenis jamur,” katanya.

Lalu, bagaimana dengan tsunami yang terjadi setelah gempa?

”Karena tinggal di hulu sungai, penduduk Mentawai hanya kenal yang namanya oju atau pasang sungai. Kadang kami heran pasangnya sungai bisa sampai ke hulu. Berarti ini limpahan dari muara. Kalau sudah begitu, kami biasa memindahkan permukiman lebih ke hulu lagi,” kata Yosep. (KHAERUDIN)

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/02/03543685/kami.tak.mengenal.tsunami

 

0 comments:

Post a Comment