Wednesday, November 17, 2010

Artikel BAKTi NEWS

GLOBAL IPM 2010 DAN KITA: PATUTKAH SI MISKIN BERHARAP?

Hari ini (5 November 2010, waktu Indonesia), UNDP meluncurkan Laporan Pembangunan Manusia (LPM), termasuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mengalami reformasi. IPM adalah rangkuman perkembangan jangka panjang dari tiga dimensi dasar Pembangunan Manusia (PM). Selama ini, tiga indikator pengukurnya adalah angka harapan hidup, persentase melek aksara orang dewasa dikombinasikan dengan angka partisipasi (kotor) sekolah bagi anak dan GDP (Gross Domestic Product) per kapita dalam Dollar AS.

Tahun lalu, IPM Indonesia berada pada peringkat ke-111 dari 182 negara. Sebenarnya, dari tahun ke tahun nilai Indonesia selalu naik, tapi kenaikan itu belum cukup mendongkrak secara drastic posisi peringkat IPM Indonesia. Sejak 2004 angka IPM Indonesia tercatat sebesar 0,714, kemudian naik menjadi 0,723 (2005), 0,729 (2006) dan 0,734 (2007).

Posisi Indonesia masih berada di bawah beberapa negara ASEAN seperti Singapura (peringkat 23), Malaysia (66), Thailand (87) dan Filipina 105). Sementara posisi Vietnam (116) dan beberapa negara seperti Mianmar, Laos, Kamboja berada di bawah Indonesia. Dibanding negara-negara dengan kepadatan penduduk tertinggi, posisi Indonesia berada antara China (92) dan India (134). Bagaimana dengan tahun 2010?

Dalam perkembangannya, LPM yang ruh dasarnya adalah menempatkan manusia sebagai titik pusat diskusi pembangunan dan rencana aksi, dari sisi indikator pengukurannya terus menerus dikritisi dan disempurnakan. Mengikuti perkembangan dan kompleksitas pembangunan di banyak negara LPM Global tahun ini memperkenalkan IPM reformasi dengan indikator baru, yaitu lamanya kehidupan yang sehat, lalu pendidikan dalam expected years of schooling (lama harapan sekolah) dikombinasikan dengan means years of schooling (lama rata-rata sekolah) serta sebuah kehidupan layak yang diukur lewat Gross National Income (GNI), bukan sekedar GDP yang menafikan banyaknya produksi domestik yang sebagian keuntungannya mengalir ke luar negeri serta menutupi kesenjangan antar individu.

Thursday, November 11, 2010

Tangani Lingkungan dengan "Ecoregion"

Jakarta, Kompas - Kementerian Lingkungan Hidup mengubah paradigma dalam penanganan isu lingkungan. Yang semula diserahkan ke setiap daerah kabupaten atau kota, kini penanganannya diharapkan lebih terintegrasi dengan dibentuknya lima ecoregion untuk seluruh Indonesia, yaitu ecoregion Sumatera; Balinusa untuk Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat; Sumapapua untuk Sulawesi, Maluku, dan Papua; Jawa; serta Kalimantan.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan ecoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.

Untuk pertama kalinya perwakilan dari semua ecoregion, Rabu (10/11), berkumpul pada acara National Summit "Mewujudkan Sinergi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup" yang digelar di Jakarta.

Hadir sebagai pembicara, yaitu Koordinator Nasional Conservation and Spatial Planning World Wide Fund for Nature Indonesia Barano Sulistya Siswa, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, serta Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup Hermien Rosita. Dalam diskusi, antara lain, terungkap, dengan konsep ecoregion itu diharapkan sinergi, fungsi koordinasi, dan diseminasi informasi menjadi lancar. Tugas dari ecoregion, antara lain, menjadi fasilitator dan penghubung antarsektor dan antarwilayah.

Menahan kebijakan

"Ecoregion bertugas menjahit kebijakan antardaerah dan memasukkan pertimbangan lingkungan dalam kebijakan pembangunan serta melakukan pengawasan," tutur Hermien.

Ecoregion juga bertugas menetapkan kriteria-kriteria lingkungan hidup, mengembangkan sistem informasi, serta mengarusutamakan pembangunan dengan memperhitungkan aspek keberlanjutan produktivitas dan aspek penyelamatan lingkungan. "Saat ini kita tidak pernah tahu berapa cadangan sumber daya alam kita," ujar Hermien.

Dia mengingatkan, pemanfaatan sumber daya alam dan perubahan tata ruang yang sedang dibuat harus selalu mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan. "Apalagi sekarang sudah banyak terjadi bencana banjir, longsor, dan sebagainya," ujar Hermien.

Dengan adanya ecoregion yang mengemban tugas dari Kementerian Lingkungan Hidup, menurut dia, "Harus tidak ada lagi izin usaha yang diperoleh tanpa ada izin lingkungan."

Kesiapan melakukan

Memandang UU No 32/2009 yang memunculkan ecoregion, Sarwono berpendapat, peraturan itu terlalu bagus untuk bisa dilaksanakan semua orang.

"Kalau tidak mampu melaksanakan, UU itu akan terdiskreditkan," ujar Sarwono.

Menurut dia, karena Indonesia luas dan masif, akan sulit untuk mencapai semua target sekaligus. Dia menyarankan untuk pertama kali dipilih beberapa bagian saja, terutama yang strategis.

"Masalah gambut amat strategis karena merupakan persoalan eksklusif Indonesia. Masalah kehutanan banyak di berbagai negara, tetapi gambut hanya di Indonesia. Jika berhasil menangani masalah lingkungan melalui penanganan gambut, gengsi Indonesia akan naik sehingga dukungan dari luar negeri juga akan datang," ujarnya.

Heart of Borneo

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta menegaskan, sekarang pihaknya memfokuskan pada Heart of Borneo. Heart of Borneo adalah kawasan yang menjadi daerah tangkapan air untuk sejumlah sungai besar di Kalimantan yang berada di wilayah tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei.

Menurut Gusti, tahun depan Indonesia mendapat giliran untuk memimpin Heart of Borneo. "Kalimantan adalah megabiodiversitas jadi harus benar- benar kita jaga," tuturnya. Oktober lalu Gusti mengatakan, telah memaparkan rencana- rencana untuk Heart of Borneo dan berbagai sumber pendanaannya. Gusti menambahkan, semua gubernur di Sumatera juga sudah menandatangani kesepakatan untuk mengembalikan kondisi lingkungan Sumatera.

Sementara terkait persoalan inventarisasi, yang merupakan dasar untuk membuat perencanaan, Gusti yakin akan bisa menyelesaikan pada 2011. Sementara menurut Hermien, data yang ada sekarang memang terdapat di berbagai pihak, seperti Kementerian Kehutanan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tetapi setidaknya inventarisasi tidak berangkat dari titik nol.

Sumber: Kompas, 11 November 2010, Halaman 13

Saturday, November 6, 2010

Merapi Peras Air Mata

Seorang pengungsi meneteskan air mata saat berhasil mencapai posko pengungsian di Stadion Maguwoharjo, Sleman, DI Yogyakarta, pascaerupsi Gunung Merapi, Jumat (5/11) dini hari.

---

Yogyakarta, Kompas - Letusan eksplosif Gunung Merapi sepanjang Kamis (4/11) pukul 23.00 hingga Jumat petang memeras air mata penduduk DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Peristiwa itu sangat mencekam, mengacaukan, dan membawa korban tewas 64 orang, puluhan sapi mati, serta belasan rumah terbakar akibat awan panas atau runtuh akibat banjir lumpur.

Hingga pukul 23.00 semalam, tercatat jumlah korban meninggal dunia 64 orang, semuanya penduduk Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, dan luka-luka 77 orang. Sejumlah sapi mati terbakar serta sejumlah rumah terbakar dan rusak.

Semalam, pengungsi mencapai 150.255 orang, terdiri dari pengungsi di DIY 34.000 orang serta pengungsi di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten (semuanya di Jawa Tengah) 116.255 orang.

Sejak letusan pertama, 26 Oktober 2010, Merapi telah menyemburkan material vulkanik sekitar 100 juta meter kubik (m). Separuh di antaranya diperkirakan menyembur Jumat dini hari hingga petang, ditandai dengan luncuran awan panas.

"Letusan ini lebih besar dari letusan Gunung Galunggung tahun 1982. Waktu itu Galunggung mencicil erupsi selama 10 bulan. Merapi hanya dalam dua minggu," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Sukhyar, Jumat. Sekitar 100 juta m material vulkanik itu menyebar ke sektor selatan, barat daya, tenggara, barat, dan utara yang di antaranya meliputi Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, serta Kabupaten Klaten, Boyolali, dan Magelang di Jawa Tengah.

Berdasarkan observasi lapangan sementara petugas Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) pada Jumat pagi, jarak luncur awan panas terjauh akibat letusan Merapi, sepanjang Kamis-Jumat, tercatat sejauh 14 kilometer di Dusun Bronggang, Cangkringan, Sleman, DIY.

Akibat letusan itu, tiga alat pencatat gempa BPPTK di Stasiun Klatakan, Pusonglondon, dan Deles, rusak terkena awan panas. Saat ini seismograf yang masih berfungsi tinggal satu unit di Stasiun Plawangan. "Hari ini (kemarin) kami mencoba memasang satu seismometer di sisi Jrakah (Magelang)," kata Kepala BPPTK Subandriyo.

Salah satu peringatan akan ancaman terbesar yang serius adalah aliran lahar dingin, yang bisa mencapai Kali Code, Kali Gajahwong, dan Kali Winongo di DIY. Ancaman menjadi kian serius apabila hujan terus mengguyur di kawasan lereng Merapi.

Sepanjang Rabu hingga Jumat pagi, aktivitas Merapi meningkat dahsyat. Gelombang awan panas tak putus-putusnya keluar dari puncak beserta material letusan lava dan abu yang diiringi gemuruh.

Puncaknya terjadi pada Jumat pukul 00.30. Suara gelegar besar terdengar hingga radius 30 km dan hujan pasir hingga radius 15 km. Hujan abu vulkanik juga terjadi hingga Kota Yogyakarta, yang berjarak lebih dari 30 km di selatan Merapi. Bahkan, dilaporkan hingga Kabupaten Tegal dan Brebes, Jawa Tengah.

Di Magelang, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kesulitan membersihkan jalur evakuasi yang tertutup pohon-pohon tumbang. Hal itu dikhawatirkan berisiko apabila letusan Merapi datang lagi.

Lima langkah Presiden

Merespons kondisi Gunung Merapi yang kian mengancam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden kemarin menetapkan lima langkah ekstra penanggulangan bencana.

Langkah pertama adalah penetapan kendali operasi tanggap darurat di tangan Kepala BNPB Syamsul Maarif. Kepala BNPB akan dibantu oleh Gubernur DIY, Gubernur Jawa Tengah, Panglima Kodam IV Diponegoro, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, dan Kepala Kepolisian Daerah DIY.

Langkah kedua, mendorong unsur pemerintah pusat berada di garis depan. Presiden menugaskan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono memastikan bantuan bagi masyarakat bisa diberikan dengan cepat, tepat, dan terkoordinasi.

Ketiga, Presiden memerintahkan TNI mengerahkan satu brigade penanggulangan bencana.

Keempat, Presiden memerintahkan Polri mengerahkan satuan tugas kepolisian untuk penanggulangan bencana karena pergerakan lalu lintas masyarakat di tengah bencana berpotensi menimbulkan kekacauan. Kelima, Presiden menegaskan, pemerintah akan membeli sapi-sapi ternak milik penduduk kawasan Gunung Merapi dengan harga yang pantas.

Secara mendadak, pada Jumat sore Presiden memutuskan berangkat lagi ke Yogyakarta untuk memastikan semua pihak menjalankan tugasnya.

Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding menegaskan, pemerintah harus tegas memaksa warga di sekitar lereng Gunung Merapi untuk mengungsi ke tempat aman. Agar warga tidak cemas, pemerintah harus menjamin penggantian ternak warga yang mati serta memindahkan ternak yang masih hidup. "Petugas harus tegas melarang pengungsi yang kembali ke rumahnya. Warga harus dipaksa mengungsi," katanya.

Gelombang pengungsi

Jumat dini hari, gelombang pengungsi datang dari utara. Di Jalan Kaliurang, ribuan sepeda motor dan mobil dipacu kencang ke arah Kota Yogyakarta di tengah hujan abu vulkanik, pasir, dan kerikil. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menaikkan radius aman primer Merapi dari 15 km menjadi 20 km.

Eksodus pengungsi pun terjadi, yang di antaranya terkonsentrasi di Stadion Maguwoharjo, Sleman, yang menampung hingga 30.000 jiwa. Di Masjid Agung Sleman di kompleks Pemerintah Kabupaten Sleman, ribuan pengungsi berdatangan dengan kondisi memprihatinkan mulai pukul 01.30. Tubuh mereka berlumuran abu vulkanik.

Puluhan pengungsi terlihat di Masjid Agung Kauman di kompleks Keraton Ngayogyakarta.

RS Sardjito, Yogyakarta, hingga pukul 21.15 tercatat menerima 64 jenazah dan 66 korban luka bakar parah. Sejak subuh ambulans bergiliran datang membawa korban tewas ataupun luka bakar. Di Klaten, 80 warga dirawat di RSU Soeradji Tirtonegoro.

"Tidak ada korban meninggal, tapi ada salah satu pengungsi yang hamil tua kehilangan calon bayinya karena shock dampak psikologis," ujar Kepala Instalasi Gawat Darurat RSU Soeradji Tirtonegoro, Klaten, dr Hartolo.

"Meski Jumat siang erupsi sudah relatif mereda dibandingkan dua hari sebelumnya, bukan berarti berhenti. Letusan besar lagi kemungkinan masih ada," kata Kepala BPPTK Subandriyo.

Mengantisipasi membeludaknya jumlah pengungsi, Pemerintah Provinsi Yogyakarta menyiapkan gedung-gedung sekolah apabila diperlukan. Sejauh ini jumlah pengungsi terbesar ada di Stadion Maguwoharjo, Sleman.

Sejak kemarin pagi Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, ditutup total. General Manager Bandara Adisutjipto Agus Adriyanto menuturkan, penutupan itu semula ditetapkan berlaku mulai pukul 06.00 hingga 09.00. Penutupan bandara diperpanjang hingga satu hari penuh. Akibat penutupan tersebut, sekitar 90 jadwal penerbangan dari dan menuju Yogyakarta dibatalkan. Sekitar 8.000 calon penumpang pesawat dari dan menuju Yogyakarta juga batal terbang.

Kampus-kampus di DIY kemarin membuka pintu untuk para pengungsi Merapi. Selain kampus, para pengungsi juga memadati stadion olahraga

Sumber: Kompas, 6 November 2010, Halaman, 1

Wednesday, November 3, 2010

SUKU MENTAWAI : Kami Tak Mengenal Tsunami

Sebuah helikopter mendarat di Desa Eruparabuan, Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, untuk mengirimkan bantuan logistik, Senin (1/11). Tsunami yang menerjang daerah itu tidak dikenal suku Mentawai karena tradisi mereka sebenarnya adalah tradisi meramu di pedalaman.

Ketua DPR Marzuki Alie jelas sangat tidak tahu bagaimana sebenarnya masyarakat Mentawai. Jika Marzuki sampai mengatakan konsekuensi tinggal di pulau seperti Mentawai adalah terkena tsunami, dia tentu tidak tahu bahwa sebenarnya masyarakat di sana tidak mengenal tsunami.

”Masyarakat Mentawai itu aslinya yang peramu. Tinggal di hutan, di hulu sungai, jauh dari pesisir. Kultur masyarakat Mentawai bukan kultur pesisir atau lautan,” ujar aktivis Yayasan Citra Mandiri, Yosep Sarogdok.

Yayasan Citra Mandiri adalah lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan kegiatannya pada persoalan di Kepulauan Mentawai.

Yosep yang merupakan penduduk asli dari Pulau Siberut menuturkan, tradisi sebagai peramu masih belum berubah banyak hingga sekarang.

Domestifikasi ternak hingga tanaman baru dikenal masyarakat Mentawai awal tahun 1970-an. Sebelum masa itu, mereka adalah masyarakat yang hidup dari berburu dan meramu.

Pedalaman

Antropolog dari Yayasan Citra Mandiri, Tarida Hernawati, penulis buku tentang rumah adat tradisional masyarakat Mentawai, uma, menulis, penduduk asli Mentawai tinggal di pedalaman dan pinggir sungai.

Mereka sangat bergantung pada sumber daya alam dari hutan. Bukan dari lautan! Jadi, salah jika menyebut masyarakat Mentawai memiliki kultur pesisir atau lautan.

”Kalau ada nelayan di Mentawai, hampir pasti pendatang, kalau enggak orang Minang, orang Batak, atau orang Nias. Penduduk asli Mentawai selalu tinggal di hulu sehingga kami tak mengenal tsunami,” kata Yosep.

Namun, masyarakat Mentawai mengenal apa yang disebut sigegeugeu alias gempa bumi. Bahkan, saking seringnya gempa bumi terjadi di Mentawai, penduduk asli pun tahu bagaimana menyikapi fenomena alam tersebut.

”Orang tua kami dulu selalu mengajarkan, jika ada sigegeugeu, berlindunglah di bawah pohon pisang. Jelas ini agar kami tak terkena batang kayu hutan yang besar,” kata Yosep.

Selain itu, sigegeugeu justru dianggap berkah oleh penduduk asli Mentawai.

”Jika sigegeugeu datang pada pagi hari seperti waktu gempa kemarin, itu bertanda datangnya musim durian. Kami menyebut sigegeugeu yang terjadi di pagi hari sebagai sipananduk. Cek saja sekarang di Mentawai, pasti lagi banyak-banyaknya durian. Kalau gempanya siang atau sore, biasanya itulah waktu kami mencari induat atau sejenis jamur,” katanya.

Lalu, bagaimana dengan tsunami yang terjadi setelah gempa?

”Karena tinggal di hulu sungai, penduduk Mentawai hanya kenal yang namanya oju atau pasang sungai. Kadang kami heran pasangnya sungai bisa sampai ke hulu. Berarti ini limpahan dari muara. Kalau sudah begitu, kami biasa memindahkan permukiman lebih ke hulu lagi,” kata Yosep. (KHAERUDIN)

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/02/03543685/kami.tak.mengenal.tsunami

 

Tuesday, November 2, 2010

Reorientasi ASEAN

Senin, 1 November 2010 |Editorial

 

Pertemuan ke-17 ASEAN di Hanoi, Vietnam, telah berakhir. Salah satu semangat yang berkembang dan menjadi hasil pertemuan itu adalah integrasi regional dan pembangunan komunitas ASEAN.

Dalam semangat itu telah disepakati Master Plan on ASEAN Connectivity, yang akan menjadi payung kerjasama untuk menghubungkan ASEAN melalui pengembangan infrastruktur (physical connectivity), kelembagaan yang efektif (institutional), serta pemberdayaan masyarakat (people-to-people).

Dengan rencana-rencana itu, ASEAN dan rekan-rekan negara mitra (Tiongkok, Jepang dan Amerika Serikat) menyatakan tekad untuk meningkatkan kerjasama dalam perdagangan, investasi dan bidang-bidang ekonomi lain untuk terus bergerak ke depan dengan landasan yang semakin kuat.

Tidak ada yang salah dengan integrasi regional dan pembangunan komunitas ASEAN, sepanjang itu ditujukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat di kawasan ini dan dilakukan dengan prinsip; kersajama dan solidaritas.

Jika kita melihat kembali sejarah pembentukannya, maka ASEAN diciptakan sebagai tanggul Amerika Serikat dan barat untuk membendung pengaruh apa yang disebut "bahaya merah"—komunisme. Dengan menjadikan negara-negara ASEAN sebagai mitra strategisnya, AS berupaya mengisolir negara-negara yang dianggap berada di bawah pengaruh merah, terutama sekali: Vietnam.

Pada tahun 1990-an, seiring dengan keruntuhan blok sosialis di Eropa timur dan Sovyet, ASEAN mulai bersikap fleksibel. Pada tahun 1995, Vietnam resmi menjadi anggota ASEAN, lalu disusul oleh Laos, Myanmar (Burma), dan Kamboja.

Namun, kendati banyak pengamat yang menyebut bahwa ASEAN telah berubah haluan, dari anti-komunis menjadi fleksible (regionalism), tetapi kenyataan tidak dapat membantah bahwa ASEAN masih lebih banyak memikul kepentingan ekonomi, politik, dan militer dari imperialisme AS.

Apa kepentingan AS terhadap Asia Tenggara? Menurut kami, AS terus berusaha menjaga kekuatan hegemoniknya di kawasan ini untuk beberapa tujuan; pertama, menjadikan ASEAN sebagai front kedua untuk mengisolasi Tiongkok dan Korea Utara, dua negara yang relatif mandiri dari kekuatan imperialisme global.

Untuk alasan ini, ada benarnya melihat perkataan Bung Karno di pidato pembelaan "Indonesia Menggugat", yang mengatakan; "Siapa kuasa di Tiongkok, dialah akan kuasa pula di seluruh daerah pasifik. Siapa yang menggenggam rumah tangga di Tiongkok, dialah yang akan menggenggam pula segala urusan rumah tangga seluruh dunia timur, baik tentang ekonomi maupun militer."

Untuk tujuan ini, AS masih memelihara hubungan baik dengan beberapa negara mitra lokalnya, seperti Philipina, Thailand, Singapura, Indonesia, dan Malaysia. Sementara di kawasan Asia Timur, AS sangat bersahabat dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang.

Kedua, peran hegemonik AS di Asia tenggara untuk memastikan atau mengamankan kontrolnya terhadap jalur-jalur perdagangan (selat malaka, sunda, Lombok, Makassar, dan laut Cina selatan—jalur perdagangan sangat penting di dunia)

Ketiga, menjaga kepentingan  perdagangan dan investasi, mengingat bahwa kawasan ini memiliki; sumbe daya alam yang melimpah, tenaga kerja, dan potensi pasar yang besar.

Itu pula yang membuat AS tidak bisa meninggalkan kawasan ini, bahkan berencana memperluas pangkalan militernya di kawasan ini. Sekaligus, bahwa sebagian besar negara di kawasan ini sangat tunduk dalam menjalankan agenda dari negeri paman sam, yaitu Washington consensus.

Meskipun kehadiran Tiongkok makin besar di kawasan ini, terutama melalui CAFTA/China-ASEAN Free Trade Agreement, namun hal itu belum mematahkan hegemoni AS di kawasan ini. Kerjasama ini masih dalam kerangka neoliberal.

Inilah yang membuat kami agak ragu dengan rencana "komunitas ASEAN" ini. Sebab, tanpa perubahan orientasi yang sangat pro-imperialisme itu, komunitas ASEAN hanya akan menjadi sarana "perdagangan bebas" yang saling membunuh ekonomi masing-masing.

ASEAN harus merubah haluan, yakni dari pro-imperialisme menjadi anti-imperialisme, jikalau mau membina kerjasama yang sehat dan damai di kawasan ini. Prinsip kerjasama ala "Washington consensus", yang mengutamakan kompetisi ketimbang kerjasama saling menguntungkan, mestinya dibuang jauh-jauh. Sudah saatnya kerjasama regional di bangun di atas prinsip kemanusiaan, solidaritas, kesetaraan, dan penghargaan atas kedaulatan nasional masing-masing.

http://berdikarionline.com/editorial/20101101/reorientasi-asean.html