Saturday, June 26, 2010

Moratorium Bisa Sia-sia : Pembahasan Tata Ruang Sarat Usulan Pelepasan Hutan

Jakarta, Kompas - Rencana tata ruang yang diajukan kementerian, lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota sarat usulan pelepasan kawasan hutan. Jika disetujui, luasan hutan bakal berkurang separuh dari luas sekarang sehingga moratorium izin konversi hutan primer dan lahan gambut sia-sia. Hal itu disampaikan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dalam peresmian dan malam penggalangan Dana Lestari Sumatera yang berlangsung di Jakarta, Selasa (22/6) malam. Zulkifli menyatakan, luasan hutan yang tersisa mencapai 68 persen dari luas total daratan Indonesia.

”Jika usulan tata ruang yang diajukan langsung disetujui tanpa pemilahan, luasan hutan akan berkurang hingga tinggal 32 persen dari total luas daratan,” kata Zulkifli.

Luas daratan Indonesia mencapai 188 juta hektar. Menurut data Strategis Kehutanan 2009 Kementerian Kehutanan, luasan kawasan berstatus hutan mencapai 133 juta hektar.

”Kementerian, lembaga, gubernur, bupati/wali kota, semua menganggap Kementerian Kehutanan menghambat pengesahan rencana tata ruang. Padahal, jika luasan hutan berkurang begitu banyak (akibat usulan tata ruang), artinya moratorium izin kawasan gambut dan hutan primer tidak berguna,” kata Zulkifli.

Tidak sinergis

Ahli tata ruang Universitas Trisakti Jakarta, Yayat Supriatna, menyatakan, kemacetan pembahasan tata ruang terjadi karena tidak sinergisnya pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang.

”Sekarang kemacetan penyusunan tata ruang terjadi karena terlalu banyak kawasan berstatus hutan, tetapi tidak lagi memiliki tegakan hutan,” kata Yayat.

Meskipun demikian, kawasan tidak berhutan itu tidak pernah dikeluarkan dari kawasan hutan dan terus dipertahankan pengelolaannya oleh Kementerian Kehutanan. Masalah kedua, juga terlalu banyak kepala daerah telanjur menerbitkan izin pertambangan atau perkebunan di dalam kawasan hutan. ”Sekarang, mereka memaksakan pelepasan kawasan hutan,” kata Yayat.

Yayat menyatakan, penataan ruang yang terkait dengan kawasan hutan tidak boleh didasarkan apa yang dimaui Kementerian Kehutanan atau apa yang dimaui kepala daerah, kementerian, atau lembaga yang meminta pelepasan kawasan hutan.

”Butuh percepatan penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau KLHS. KLHS itu amanat UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hanya KLHS yang bisa dijadikan dasar obyektif untuk menyetujui atau menolak usulan pelepasan kawasan hutan,” kata Yayat.

Yayat menganjurkan Kementerian Kehutanan menginventarisasi ulang luasan kawasan yang bertegakan hutan dan tidak bertegakan hutan. ”Sehingga bisa diputuskan apa langkah selanjutnya,” kata Yayat. (ROW)

Source:Kompas

 

0 comments:

Post a Comment