Semarang, kompas - Hingga akhir tahun 2010, kondisi lingkungan dan kawasan pesisir di Jawa Tengah tidak kunjung membaik. Berbagai bencana ekologis terjadi karena peraturan yang dibuat pemerintah daerah belum mampu melindungi sektor lingkungan.
Hal ini terangkum dalam catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam isu lingkungan dan pesisir tahun 2010 yang disusun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. ”Kebijakan pemerintah justru membuat lingkungan dan pesisir menjadi salah urus,” kata Staf Operasional Isu Lingkungan dan Pesisir LBH Semarang, Erwin Dwi Kristanto, Senin (13/12) di Semarang.
Berdasarkan data LBH Semarang, selama 2010 terjadi 35 bencana ekologis di Jawa Tengah. Sebanyak 15 bencana ekologis di antaranya terjadi di Kota Semarang. Kasus konflik area tangkap dan reklamasi juga paling banyak terjadi di Kota Semarang.
Bencana ekologis itu meliputi kerusakan lingkungan pesisir akibat abrasi, akresi, dan rob yang sebagian besar disebabkan ulah manusia. Misalnya, abrasi di wilayah Kabupaten Kendal, Demak, dan Kota Semarang yang dipicu reklamasi pantai.
Menurut Erwin, kerusakan pesisir biasanya disebabkan oleh kalangan korporasi yang membangun pabrik dengan cara mereklamasi pantai. Namun, saat ini muncul kecenderungan bahwa pemerintah membuat peraturan baru yang lebih memudahkan pihak korporasi itu menguasai lahan pesisir.
Kota Semarang merupakan salah satu daerah di Jateng yang saat ini sedang menyusun rancangan peraturan daerah (perda) tentang pesisir. Proses ini menjadi sorotan tajam beberapa pihak termasuk LBH Semarang, karena ada upaya memasukkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) ke dalam perda itu.
”Jika HP3 diterapkan, pihak swasta semakin berkuasa dan kerusakan makin parah,” kata Erwin. Dengan mendapat HP3, seseorang bebas mengelola kawasan pesisir dan perairan sepanjang 12 mil dari bibir pantai. Orang lain yang melanggar zona itu dapat dikenai sanksi pidana.
Contoh lain kegagalan pemerintah dalam melindungi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya adalah melalui program The Blue Revolution Policies. Program yang bertujuan memperkuat sektor perikanan itu tidak dapat diterapkan dengan baik di daerah. ”Di Jateng, 17 kabupaten/kota justru menerapkan retribusi terhadap nelayan kecil,” kata Erwin.
Ketua Panitia Khusus Rancangan Perda Pengelolaan Pesisir dan Perikanan DPRD Kota Semarang, Agung Budi Margono, mengatakan, proses penyusunan perda itu terhenti karena menunggu Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang. ”Tetapi, kami terima aspirasi masyarakat mengenai HP3 itu,” katanya.
Dalam monitoring LBH Semarang terhadap sektor lingkungan nonpesisir, Kota Semarang juga menduduki peringkat terburuk. Dari 14 kasus persoalan lingkungan yang disorot di Kota Semarang, 5 di antaranya merupakan kasus pencemaran lingkungan, dan 4 kasus di antaranya merupakan penerbitan izin bermasalah atau tanpa kajian lingkungan. (DEN)
0 comments:
Post a Comment