KOMPAS: Kawat-kawat diplomatik menunjukkan bagaimana Amerika Serikat memanipulasi perjanjian soal iklim, memperlihatkan bagaimana AS menggunakan peran mata-mata, ancaman, dan janji-janji bantuan untuk meraih dukungan demi terciptanya kesepakatan Kopenhagen pada Desember 2009.
Tersembunyi di balik retorika penyelamatan dunia, terdapat realitas politik yang berlepotan dengan absurditas. Demikian bagian dari petikan berita-berita harian Inggris, The Guardian, selama beberapa hari pada awal Desember ini setelah menganalisis kawat-kawat diplomatik AS yang meluncur di situs WikiLeaks.
Dokumen tak resmi pun muncul dari pertemuan puncak soal iklim di Kopenhagen. Sejumlah negara miskin bersedia mengurangi emisi, dengan tawaran bantuan yang sebenarnya tidak akan pernah diterima.
Namun, dengan kesediaan ini, Uni Eropa dan Amerika Serikat merasa telah menolong pengurangan emisi karena membantu sejumlah negara mengurangi emisi lewat bantuan, dijuluki carbon trading.
Perundingan untuk pencapaian traktat ini merupakan permainan dengan taruhan tingkat tinggi. Ini adalah perekayasaan kembali perekonomian global dengan model karbon rendah, yang menyaksikan pembalikan arus uang miliaran dollar AS. Dengan mengurangi emisi, negara-negara berkembang meredam laju pembangunan ekonomi. AS dan UE terus bebas memuncratkan polusi demi pembangunan ekonomi, juga menjual "teknologi hijau".
Untuk meraih kekuatan negosiasi, yang berakhir dengan penandatanganan kesepakatan itu, Deplu AS mengirim kawat rahasia pada 31 Juli 2009, yang mengincar para diplomat berbagai negara yang bertugas di PBB, termasuk yang menangani perubahan iklim. Permintaan itu berasal dari CIA. Tujuannya, melihat posisi dan tawaran negara-negara menjelang pertemuan Kopenhagen. Para diplomat diminta mengincar rancangan traktat dan kesepakatan yang akan disetujui.
Pembicaraan AS-China gagal meraih kesepakatan global di Kopenhagen. China cukup lihai melihat permainan AS, yang dinilai hanya menekan dan tidak mau menekan emisi global. Namun, AS, polluter terbesar dunia dan paria iklim yang terisolasi, memiliki sesuatu untuk disepakati sejumlah negara. Persetujuan itu dipalu di jam-jam menentukan, tetapi tidak lewat proses PBB. Persetujuan itu dicapai karena pendiktean. Perjanjian ini tak menjamin pengurangan emisi yang dibutuhkan dunia untuk menghindari pemanasan, itu pun jika pemanasan itu benar-benar terjadi.
Kesepakatan itu juga bertujuan meredam PBB untuk memperpanjang protokol Kyoto, yang mewajibkan negara-negara kaya mengurangi polusi. Hal ini kemudian membuat banyak negara mendadak menentang kesepakatan yang sudah diteken.
Lepas dari itu, untuk merangkul sejumlah negara agar bersedia mengikat dirinya pada kesepakatan, demi melayani kepentingan AS, serangan-serangan diplomatik diluncurkan.
Kawat-kawat diplomatik mengalir keras dan cepat antara akhir pertemuan Kopenhagen dan Februari 2010. Sejumlah negara berhasil dibujuk untuk sebuah kesepakatan, yang menjanjikan bantuan 30 miliar dollar AS, khususnya bagi negara-negara miskin yang terpukul pemanasan global, yang bukan mereka buat.
Dua minggu setelah Kopenhagen, Menlu Maladewa Ahmed Shaheed menulis kepada Menlu AS Hillary Clinton. Dia mengekspresikan keinginan untuk mendukung kesepakatan.
Pada 23 Februari 2010, Dubes Maladewa yang yang dirancang untuk posisi AS Abdul Ghafoor Mohamed berkata kepada wakil utusan iklim AS, Jonathan Pershing, negaranya menginginkan "bantuan nyata". Ghafoor mengatakan, negara lain kemudian akan tergiur merealisasikan "manfaat bantuan yang diraih dengan mengikuti perjanjian" yang dilakukan Maladewa.
"Ghafoor merujuk beberapa proyek berbiaya 50 juta dollar AS. Pershing menyemangatinya untuk memberi contoh konkret dan biaya dengan tujuan meningkatkan bantuan bilateral."
Kreativitas akuntansi
Menurut kawat pada 11 Februari, Pershing bertemu dengan Ketua Komisi Aksi Iklim Uni Eropa Connie Hedegaard di Brussels, Belgia. Hedegaard mengatakan, "Negara-negara kecil bisa menjadi sekutu terbaik sehubungan dengan kebutuhan mereka akan bantuan."
Namun, pasangan ini berpikir soal cara pencarian bantuan 30 miliar dollar AS. Hedegaard mengajukan ide beracun. Apakah semua bantuan AS berbentuk tunai? Hedegaard bertanya apakah AS sekadar melakukan "kreativitas akuntansi".
Pershing mengatakan, "Para donor harus menyeimbangkan keperluan politik soal bantuan itu dengan kendala ketatnya anggaran negara."
Dari sini, negara berkembang melihat bahwa banyak dari janji bantuan untuk lingkungan itu merupakan pengalihan dari bantuan yang sudah pernah dijanjikan untuk urusan lain.
Pada bagian lain dari kawat itu, Hedegaard bertanya mengapa AS tidak sepakat dengan China dan India atas apa yang dia lihat sebagai tawaran yang bisa diterima untuk pengurangan emisi pada masa datang. China dan India sama-sama siap mengurangi emisi jika AS dan UE juga siap.
Berikut ini adalah isi kawat lain. Pada 2 Februari 2009, sebuah kawat dari Addis Ababa melaporkan pertemuan antara Wakil Menlu AS Maria Otero dan PM Etiopia Meles Zenawi, yang akan memimpin pertemuan perubahan iklim Uni Afrika.
Kawat rahasia itu memuat ancaman tegas AS terhadap Zenawi: "Tanda tangani perjanjian atau diskusi harus berakhir sekarang". Zenawi merespons bahwa Etiopia mendukung kesepakatan, tetapi jaminan personal Presiden Barack Obama soal bantuan tidak dipenuhi.
Determinasi AS untuk menemukan lawan beratnya—Brasil, Afrika Selatan, India, dan China—tertuang dalam kawat lain dari Brussels pada 17 Februari 2010. Kawat ini melaporkan pertemuan antara Wakil Penasihat Keamanan Nasional Michael Froman, Hedegaard, dan para pejabat UE lainnya.
Froman mengatakan, UE dan AS harus menyembunyikannya ketidakcocokan untuk mengatasi perlawanan negara-negara ketiga. Hedegaard menjamin Froman akan dukungan itu.
Hedegaard dan Froman juga mendiskusikan keperluan untuk "menetralisasi, mengooptasi, atau memarginalkan negara-negara yang tidak tertangani, termasuk Venezuela dan Bolivia". Kemudian, pada April 2010, AS menghentikan bantuan kepada Bolivia dan Ekuador karena menolak kesepakatan.
Setelah pertemuan Kopenhagen, pengikatan lebih jauh bantuan keuangan demi dukungan politik mencuat. Para pejabat Belanda juga menjadi sasaran. Belanda awalnya menolak tekanan AS, tetapi akhirnya membuat pernyataan pada 25 Januari.
Menurut kawat itu, perunding Belanda soal iklim, Sanne Kaasjager, "... menyusun pesan-pesan ke berbagai kedutaan di negara-negara penerima bantuan Pemerintah Belanda untuk mendukung kesepakatan. Ini sebuah langkah yang tak pernah dilakukan sebelumnya oleh Pemerintah Belanda, yang secara tradisional menolak pengaitan bantuan utang untuk kepentingan politik."
Sekarang 140 negara sudah di tangan, dan ini diungkapkan Pershing dalam pertemuannya dengan Hedegaard pada 11 Februari. Sebanyak 140 negara itu mewakili 75 persen dari 193 negara yang menjadi peserta konvensi PBB soal perubahan iklim. Negara-negara ini juga menegaskan, mereka bertanggung jawab atas 80 persen emisi global.
Pada pertemuan iklim di Cancun, Meksiko, muncul kejutan terbesar. Jepang mengumumkan tidak akan mendukung perpanjangan traktat Kyoto. Ini memberi dukungan besar kepada AS. Roda diplomatik AS dan deal-deal-nya tampaknya memberi hasil.
Di Cancun, Amy Godman dari New America bertanya pada Stern soal kawat-kawat itu. "Saya tidak punya komentar," kata Stern yang mengecam bocoran kawat itu. Hedegaard juga berkomentar, "Kawat-kawat itu cuma berisi sepenggal dari serangkaian pembicaraan." (MON)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/12/03194298/banyak.negara..ditekan.soal.iklim