Senin, 1 November 2010 |Editorial
Pertemuan ke-17 ASEAN di Hanoi, Vietnam, telah berakhir. Salah satu semangat yang berkembang dan menjadi hasil pertemuan itu adalah integrasi regional dan pembangunan komunitas ASEAN.
Dalam semangat itu telah disepakati Master Plan on ASEAN Connectivity, yang akan menjadi payung kerjasama untuk menghubungkan ASEAN melalui pengembangan infrastruktur (physical connectivity), kelembagaan yang efektif (institutional), serta pemberdayaan masyarakat (people-to-people).
Dengan rencana-rencana itu, ASEAN dan rekan-rekan negara mitra (Tiongkok, Jepang dan Amerika Serikat) menyatakan tekad untuk meningkatkan kerjasama dalam perdagangan, investasi dan bidang-bidang ekonomi lain untuk terus bergerak ke depan dengan landasan yang semakin kuat.
Tidak ada yang salah dengan integrasi regional dan pembangunan komunitas ASEAN, sepanjang itu ditujukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat di kawasan ini dan dilakukan dengan prinsip; kersajama dan solidaritas.
Jika kita melihat kembali sejarah pembentukannya, maka ASEAN diciptakan sebagai tanggul Amerika Serikat dan barat untuk membendung pengaruh apa yang disebut "bahaya merah"—komunisme. Dengan menjadikan negara-negara ASEAN sebagai mitra strategisnya, AS berupaya mengisolir negara-negara yang dianggap berada di bawah pengaruh merah, terutama sekali: Vietnam.
Pada tahun 1990-an, seiring dengan keruntuhan blok sosialis di Eropa timur dan Sovyet, ASEAN mulai bersikap fleksibel. Pada tahun 1995, Vietnam resmi menjadi anggota ASEAN, lalu disusul oleh Laos, Myanmar (Burma), dan Kamboja.
Namun, kendati banyak pengamat yang menyebut bahwa ASEAN telah berubah haluan, dari anti-komunis menjadi fleksible (regionalism), tetapi kenyataan tidak dapat membantah bahwa ASEAN masih lebih banyak memikul kepentingan ekonomi, politik, dan militer dari imperialisme AS.
Apa kepentingan AS terhadap Asia Tenggara? Menurut kami, AS terus berusaha menjaga kekuatan hegemoniknya di kawasan ini untuk beberapa tujuan; pertama, menjadikan ASEAN sebagai front kedua untuk mengisolasi Tiongkok dan Korea Utara, dua negara yang relatif mandiri dari kekuatan imperialisme global.
Untuk alasan ini, ada benarnya melihat perkataan Bung Karno di pidato pembelaan "Indonesia Menggugat", yang mengatakan; "Siapa kuasa di Tiongkok, dialah akan kuasa pula di seluruh daerah pasifik. Siapa yang menggenggam rumah tangga di Tiongkok, dialah yang akan menggenggam pula segala urusan rumah tangga seluruh dunia timur, baik tentang ekonomi maupun militer."
Untuk tujuan ini, AS masih memelihara hubungan baik dengan beberapa negara mitra lokalnya, seperti Philipina, Thailand, Singapura, Indonesia, dan Malaysia. Sementara di kawasan Asia Timur, AS sangat bersahabat dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang.
Kedua, peran hegemonik AS di Asia tenggara untuk memastikan atau mengamankan kontrolnya terhadap jalur-jalur perdagangan (selat malaka, sunda, Lombok, Makassar, dan laut Cina selatan—jalur perdagangan sangat penting di dunia)
Ketiga, menjaga kepentingan perdagangan dan investasi, mengingat bahwa kawasan ini memiliki; sumbe daya alam yang melimpah, tenaga kerja, dan potensi pasar yang besar.
Itu pula yang membuat AS tidak bisa meninggalkan kawasan ini, bahkan berencana memperluas pangkalan militernya di kawasan ini. Sekaligus, bahwa sebagian besar negara di kawasan ini sangat tunduk dalam menjalankan agenda dari negeri paman sam, yaitu Washington consensus.
Meskipun kehadiran Tiongkok makin besar di kawasan ini, terutama melalui CAFTA/China-ASEAN Free Trade Agreement, namun hal itu belum mematahkan hegemoni AS di kawasan ini. Kerjasama ini masih dalam kerangka neoliberal.
Inilah yang membuat kami agak ragu dengan rencana "komunitas ASEAN" ini. Sebab, tanpa perubahan orientasi yang sangat pro-imperialisme itu, komunitas ASEAN hanya akan menjadi sarana "perdagangan bebas" yang saling membunuh ekonomi masing-masing.
ASEAN harus merubah haluan, yakni dari pro-imperialisme menjadi anti-imperialisme, jikalau mau membina kerjasama yang sehat dan damai di kawasan ini. Prinsip kerjasama ala "Washington consensus", yang mengutamakan kompetisi ketimbang kerjasama saling menguntungkan, mestinya dibuang jauh-jauh. Sudah saatnya kerjasama regional di bangun di atas prinsip kemanusiaan, solidaritas, kesetaraan, dan penghargaan atas kedaulatan nasional masing-masing.
http://berdikarionline.com/editorial/20101101/reorientasi-asean.html
0 comments:
Post a Comment