Sunday, July 22, 2012

Penilaian Asing


Penilaian Asing
EKONOMI Indonesia kembali mendapatkan penilaian positif dari lembaga-lembaga asing. Hal yang patut dibanggakan, tetapi tidak boleh membuat pemerintah lupa diri. Lembaga survei global, Nielsen, baru-baru ini, menempatkan indeks kepercayaan konsumen Indonesia pada kuartal II 2012 sebagai yang tertinggi di dunia. Dalam hasil survei yang dirilis pada Senin (16/7) itu, disebutkan bahwa 82% konsumen Indonesia percaya keadaan keuangan pribadi mereka terlihat baik atau sangat baik. Angka itu jauh lebih tinggi daripada angka rata-rata Asia Pasifik dan dunia yang hanya mencapai 52% dan menggeser posisi India yang sebelumnya berada di posisi teratas.

Penilaian positif lainnya juga datang dari Moody’s. Lembaga pemeringkat internasional itu awal pekan ini mempertahankan peringkat utang Indonesia pada level Baa3 dengan prospek stabil. Artinya, di tengah ketidakpastian ekonomi global, ekonomi Indonesia dianggap masih bagus dan memiliki prospek cerah. Sah-sah saja pemerintah bangga dengan pujian dan penilaian positif dari pihak asing itu. Namun, jangan sampai itu membuat pemerintah menutup mata terhadap lubang-lubang ekonomi yang terus menganga. Haruslah diingat bahwa masih banyak rakyat kita hidup di bawah garis kemiskinan. Di atas kertas, perekonomian kita memang tumbuh di atas 6%, tetapi dalam kenyataan, ketimpangan justru semakin dapat kita rasakan. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus bunuh diri akibat kemiskinan semakin banyak bermunculan. Fakta bahwa semakin bertambah orang miskin yang memilih bunuh diri sebagai solusi tidak bisa ditutup-tutupi. Fenomena itu tentu kontras dengan penilaian asing yang selalu memuji kinerja ekonomi Indonesia.

Di sisi lain, pembangunan ekonomi juga belum mampu menjadikan kita bangsa produktif. Data empiris cenderung menunjukkan kita semakin menjadi bangsa konsumtif. Defisit perdagangan di sektor pertanian yang terus berlangsung enam tahun terakhir menjadi bukti perekonomian kita sejatinya tidak hebat. Kita jauh lebih banyak mengimpor daripada mengekspor. Artinya, daya saing kita rendah. Kalau itu terus dibiarkan, ekonomi kita justru tengah mengarah ke bahaya. Karena itu, alih-alih menepuk dada dan berbangga diri, lebih baik pemerintah bersikap kritis atas penilaian positif pihak asing.

Penilaian asing atas perekonomian Indonesia bukan penilaian yang bebas kepentingan. Dengan menilai positif dan memuji, pemerintah Indonesia diharapkan bekerja sesuai ukuran dan kepentingan mereka. Ekonomi Indonesia dinilai positif karena memang kelewat ramah terhadap investor. Contohnya, asing diizinkan memiliki saham bank hingga 99%. Di bidang pertambangan dan migas pun, pemerintah membuat investor asing seperti berada di surga dengan memberikan konsesi seakan tanpa batas. Tidak selamanya ukuran-ukuran positif asing menguntungkan rakyat. Karena itu, pemerintah harus berhenti menjadi good boy atas kepentingan asing dan mulai lebih memperhatikan penderitaan rakyat. [MediaIndonesia.com]

Saturday, June 9, 2012

PENGELOLAAN HUTAN JATI DI JAWA (Aspek Sosio-Teknis)

Ringkasan Buku:
Hasan Simon,
Pustaka Pelajar,
Jogjakarta, 2004
289 halaman
ISBN: 979-3477-70-9


Pengelolaan hutan jati di Jawa telah melewati sejarah sangat panjang. Pengalaman yang panjang itu kiranya dapat diambil hikmahnya untuk melanjutkan pengembangan pengelolaan hutan jati di Jawa ke depan maupun untuk meletakkan dasar-dasar pengelolaan hutan di luar Jawa. Bahkan tidak mustahil, pengalaman dari Jawa itu bisa menjadikan pengembangan pengelolaan hutan tropis di seluruh dunia.

Sejarah panjang pengelolaan hutan jati di Jawa tersebut dimulai dari penambangan kayu (timber extraction), dilanjutkan dengan pengelolaan hutan tanaman (timber management), dan terakhir uji-coba ke paradigma kehutanan sosial (social forestry). Penambangan kayu pada hutan jati di Jawa berlangsung selama kurang lebih 10 abad (abad ke-8 s/d ke-18). Periode yang panjang itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu penambangan kayu konvensional dan penambangan kayu modern oleh VOC. Penambangan kayu oleh VOC yang berlangsung selama 150 tahun itu telah menyebabkan hancurnya hutan jati di Jawa pada akhir abad ke-18. Pemerintah Hindia Belanda yang dikomandani oleh DAENDELS sebagai Gubernur Jenderal (1808-1811), membangun kembali hutan yang rusak tersebut dengan mengadopsi model pengelolaan hutan tanaman dari Jerman. Setelah berbagai rintangan dapat diatasi, cita-cita DAENDELS tersebut baru terwujud pada kurun waktu 1890-1942 dengan hasil gemilang.

Dalam perjalanan panjang tersebut berbagai aspek telah dilewati, mulai dari aspek sosial ekonomi masyarakat, aspek teknik kehutanan, maupun aspek kebijakan. Karena pengalaman berharga itu kurang difahami oleh rimbawan Indonesia pada umumnya, termasuk para pengambil kebijakan di republik ini. Kini hutan jati di Jawa karya Djatibedreijfs itu kembali hancur berantakan. Sejarah 200 tahun yang lalu telah terulang, dan nampaknya diperlukan seorang DAENDELS baru untuk membangun kembali hutan di Jawa.(SY)

Monday, May 14, 2012

Biogas Minimalkan Perubahan Iklim

FBC-Padang Pariaman. “Cik jawi baserak di laman, di laman cik jawi baserak.  Cik jawi baguno untuak biogas, untuak biogas cik jawi baguno” (Kotoran sapi berserakan di halaman, di halaman kotoran sapi berserakan. Kotoran sapi berguna untuk biogas, untuk biogas kotoran sapi berguna).  Demikian sebuah penggalan lagu dinyanyikan dengan irama mars oleh  Kepala Dinas Pertanian dan Hortikultura Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) Ir. Djoni, Senin (7/5).
 
Hal demikian dinyanyikan oleh Djoni, saat kegiatan hari temu lapangan petani yang digelar oleh kelompok sekolah lapangan (SL) Jorong Sungai Pinang, Nagari Kasang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman.
 
Menurut Djoni, kotoran sapi selama ini sudah mulai dimanfaatkan oleh petani organik di Sumbar sebagai bahan baku kompos.  “Kan tidak hanya sampai pada kompos, kotoran sapi juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber biogas,” katanya.
 
Dia menjelaskan, dari kotoran sapi segar sampai menjadi kompos, terjadi proses fermentasi.  “Pada saat fermentasi inilah gas metana dihasilkan,” sambungnya.
 
Djoni menambahkan, bila petani dapat memanfaatkan gas hasil fermentasi ini, otomatis petani sudah tidak banyak bergantung pada bahan bakar fosil.  “Ini juga bisa menghemat pengeluaran keluarga,” tandas Djoni.
 
Ditempat yang sama, ketua panitia hari temu lapangan, Indra Medi, 51, sepakat dengan apa yang disampaikan Djoni.  Menurutnya, biogas bukan hanya soal memanfaatkan limbah menjadi sesuatu yang bermanfaat, namun pengelolaan biogas sesungguhnya dilakukan untuk melakukan pengurangan emisi gas metana itu sendiri.
 
“Gas metana kalau diemisikan ke udara akan memperbanyak konsentrasi gas rumah kaca” katanya.
 
Menurut Indra, metan merupakan salah satu gas penyumbang gas rumah kaca di udara selain karbondioksida, nitrogen oksida dan gas lainnya.  Konsentrasi gas metana diudara sangat menentukan peningkatan panas bumi.  “Jika bumi makin panas, maka es di kutub akan mencair dan perubahan iklim tidak dapat dihindarkan” tandasnya.
 
Indra mengakui,  dalam beberapa tahun belakangan telah merasakan perubahan iklim yang cukup berdampak atas usaha taninya.  Menurutnya, saat ini musim hujan dan kering sudah agak sulit diperkirakan.  Dampaknya, sulitnya memperkirakan musim hujan dan kering, sehingga sulit pula bagi petani untuk menentukan musim tanam.
 
Lebih jauh dia menjelaskan, buangan padat dari instalasi biogas dapat dimanfaatkan sebagai kompos.  “Kompos hasil biogas sangat sempurna karena fermentasi juga berlangsung dengan sempurna” kata Indra.
 
Di tempatnya tingga, di Korong Sungai Pinang Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang Pariaman, Indra Medi telah membantu pemasangan 4 unit biogas.  Bukan hanya sampai disitu, Indra Medi juga telah memasang 1 unit biogas di Nagari Taratak Tampati, Batang Kapas di Kabupaten Pesisir Selatan, 1 unit di nagari Sungai Buluh Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang Pariaman dan 1 lagi di Malalak.
 
Menyusul, ia akan memasang 13 instalasi biogas lainnya di wilayah itu, 1 instalasi di Nagari Ulakan dan 1 lagi di Nagari Kudu Gantiang.
 
Indra Medi tertarik mengembangkan biogas sejak terlibat dalam sekolah lapangan yang difasilitasi FIELD-Bumi Ceria, sebuah program yang mendukung ketangguhan masyarakat terhadap perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana pada komunitas petani di Kabupaten Padangpariaman, Sumatera Barat.  Program ini didukung oleh United State Agency for International Development (USAID) dan diimplementasikan oleh Yayasan FIELD Indonesia.
 
“Saya bertekad untuk tetap menggalakkan biogas untuk petani.  Karena biogas adalah energi terbarukan yang murah, mudah dan terjangkau oleh masyarakat petani” pungkasnya. [milis]

Tuesday, April 24, 2012