Upaya pemerintah dalam mengurangi dampak kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumberdaya alam, adalah sebuah kewajiban. Manfaat yang dapat dipetik adalah agak semua pihak dapat merasakan keberadaan sumberdaya alam tersebut secara berkelanjutan. UKL UPL atau biasa disebut dengan Upaya Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan salah satunya diwajibkan kepada sektor usaha kecil dan menengah dalam sebuah sistem pemantauan yang periodik pada unit usaha milik masyarakat, seperti pembangunan rencana perumahan yang dilakukan oleh pengembang bisnis properti.
Melalui kepanjangan tangan dari Kementrian Lingkungan Hidup yang telah mengeluarkan aturan baku melalui Undang Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan Peraturan Pemerintah. UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) merupakan dokumen pengelolaan lingkungan hidup bagi rencana usaha dan atau kegiatan yang tidak wajib AMDAL. UKL-UPL diatur sejak diberlakukannya PP 51/1993 tentang AMDAL. UKL-UPL tidak sama dengan AMDAL yang harus dilakukan melalui proses penilaian dan presentasi, tetapi lebih sebagai arahan teknis untuk memenuhi standar-standar pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan Kep-MENLH No 86 Tahun 2002 tentang UKL-UPL, pemrakarsa diwajibkan mengisi formulir isian dan diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengeloaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota atau di Propinsi.
Sektor property (perumahan) bisa menjadi contoh bagi implementasi UKL UPL bagi sektor usaha yang dapat langsung berdampak pada kelestarian lingkungan. Tahapan pembangunan perumahan dapat melalui 3 (tiga) hal penting, yakni tahap pra-konstruksi (perencanaan, penyiapan lahan); tahap konstruksi (pembersihan dan penyiapan lahan, pembangunan fisik); dan tahap pasca konstruksi (penyerahan aset, pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan). Ketiganya memiliki konsekwensi langsung bagi keberadaan lingkungan sekitar, misal didalam lokasi pembangunan perumahannya dan diluar (sekitar) lokasi perumahan.
Rona awal lokasi dalam konteks UKL UPL wajib untuk didokumentasikan dengan baik agar diperoleh informasi dan fakta lapangan yang nantinya dpt dinilai dan diukur perubahannya pada periode tertentu. Hal ini sangat wajar, untuk menjamin keberadaan lingkungan sekitar tetap lestari.
Disamping itu, upaya monitoring berkala dari Pemerintah daerah sebagai pemberi ijin (prinsip) juga menjadi penting untuk dilakukan secara konsisten agar segala perubahan yang terjadi dalam dan diluar lokasi dapat dilakukan pemantauan yang terpadu. Pelibatan parapihak (LSM, masyarakat, swasta dan pemerintah) menjadi kunci keberhasilan pemantauan lingkungan. Komponen parapihak tersebut sangat ideal utk diterapkan, mengingat tanggungjawab lingkungan bukan domain pemerintah saja, atau pihak-pihak tertentu saja. Namun menjadi tanggungjawab bersama untuk manfaat bersama yg lebih lestari.Melalui kepanjangan tangan dari Kementrian Lingkungan Hidup yang telah mengeluarkan aturan baku melalui Undang Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan Peraturan Pemerintah. UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) merupakan dokumen pengelolaan lingkungan hidup bagi rencana usaha dan atau kegiatan yang tidak wajib AMDAL. UKL-UPL diatur sejak diberlakukannya PP 51/1993 tentang AMDAL. UKL-UPL tidak sama dengan AMDAL yang harus dilakukan melalui proses penilaian dan presentasi, tetapi lebih sebagai arahan teknis untuk memenuhi standar-standar pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan Kep-MENLH No 86 Tahun 2002 tentang UKL-UPL, pemrakarsa diwajibkan mengisi formulir isian dan diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengeloaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota atau di Propinsi.
Sektor property (perumahan) bisa menjadi contoh bagi implementasi UKL UPL bagi sektor usaha yang dapat langsung berdampak pada kelestarian lingkungan. Tahapan pembangunan perumahan dapat melalui 3 (tiga) hal penting, yakni tahap pra-konstruksi (perencanaan, penyiapan lahan); tahap konstruksi (pembersihan dan penyiapan lahan, pembangunan fisik); dan tahap pasca konstruksi (penyerahan aset, pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan). Ketiganya memiliki konsekwensi langsung bagi keberadaan lingkungan sekitar, misal didalam lokasi pembangunan perumahannya dan diluar (sekitar) lokasi perumahan.
Rona awal lokasi dalam konteks UKL UPL wajib untuk didokumentasikan dengan baik agar diperoleh informasi dan fakta lapangan yang nantinya dpt dinilai dan diukur perubahannya pada periode tertentu. Hal ini sangat wajar, untuk menjamin keberadaan lingkungan sekitar tetap lestari.
Hadirnya instrument UKL UPL memang membutuhkan prasyarat yang tdk mudah. Persoalan kesadaran pihak swasta untuk memberikan perhatiannya kepada lingkungan masih dirasa kurang. Apalagi bagi pihak swasta yang masih sekedar 'numpang' ijin hanya sekedar utk lips service dan Pemerintah Daerah yang setengah hati memberikan sistem perijinannya tanpa secara konsisten memantau dampak lingkungannya. Maka yang terjadi adalah masyarakat sekitar penerima dampak yang menjadi "korban". Masih ingatkah kita kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo ?
Begitulah kira-kira hal terburuk yang terjadi apabila tidak adanya sinkronisasi kebijakan pemerintah dan kepedulian parapihak (swasta) dalam persoalan menggagas instrument lingkungan yang telah dilahirkan dengan 'dana' yang tidak sedikit tsb. Begitu pula dengan instrument UKL UPL, bila hanya dijadikan instrument yang bersifat lisp service saja dari parapihak tersebut maka bisa dipastikan hal tersebut akan menjadi hal-hal yang kontra produktif. (sy)
0 comments:
Post a Comment